1. Setan salah satu
dari dua sumber kejahatan
Salah satu doa pagi dan petang adalah :
“Wahai Dzat yang menciptakan langit dan bumi, Dzat
yang Maha mengetahui sesuatu yang ghoib dan yang nyata, Pemilik segala sesuatu
dan Raja-nya, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disemah melainkan
Engkau, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan diriku sendiri dan dari
kejahatan setan serta sekutu-sekutunya.” (Shahih al-Jami’, no. 4402,
dan di shahihkan oleh Syaikh al-Albani).
Syaikhul Islam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan:
“Hadits yang mulia ini mengandung (perintah) untuk memohon perlindungan dari
setan; dari kejelekan, sebab-sebab dan sasarannya. Karena semua kejelekan itu,
bila tidak bersumber dari jiwa, maka bersumber dari setan. Sasarannya,
sekiranya tidak kembali kepada orang yang mengerjakannya, maka kembali kepada
saudaranya sesama muslim. Oleh karena itu, hadits ini mengandung (penjelasan
tentang) dua sumber asal dari kejelekan dan dua sasaran yang dituju oleh
kejelekan tersebut.” (Ighatsah al-Lahfan I/91).
2.
Menyandarkan
kejelekan kepada setan
Ketika menyebutkan beberapa faedah dan pelajara dari
surat al-Kahfi, Syaikh as-Sa’di berkata tentang ayat 63: “Diantaranya
(dibolehkannya) menyandarkan kejelekan dan sebab-sebabnya kepada setan.” (Taisir
al-Karim ar-Rahman, hlm. 483).
3.
Cekikan setan
lebih aku sukai daripada jabatan kehakiman
Al-Mughirah bin Abdurrahman al-Makhzumi adalah salah
seorang sahabat Imam Malik dari penduduk kota Madinah. Beliau juga seorang
faqih di kota Nabi ini.
Zubair berkata: “Amirul mukminin ar-Rasyid pernah
menawarkan kepada beliau jabatan kehakiman di kota Madinah, hadiahnya adalah
4000 dinar. Akan tetapi beliau tidak bersedia dan enggan kecuali apabila
diwajibkan kepadanya. Beliau berkata :
“Wahai Amirul Mukminin, dicekik setan lebih aku sukai
daripada aku menjabat kehakiman”.
Setelah mengatakan itu ar-Rasyid berkata: Setelah ini
tidak ada lagi penawaran kepadanya untuk menjadi hakim, lalu beliaupun
merelakannya untuk tidak menjabat sebagai hakim, bahkan memberinya hadiah
sebesar 2000 dinar.” (Tartib al-Madarik, jilid III, hlm. 4).
4.
Kelezatan Ala
Setan
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan: “Kelezatan
ilmu adalah kelezatan akal dan rohani dari jenis kelezatan para malaikat.
Sedangkan kelezatan makanan dan minuman serta menikah adalah kelezatan hawa;
manusia dan binatang memiliki kesamaan didalamnya. Sedangkan kelezatan
keburukan, kezhaliman, kerusakan dan kesombongan di muka bumi adalah kelezatan
setan; iblis dan bala tentaranya memiliki kesamaan di dalamnya.
Kelezatan – kelezatan yang lain akan hilang dengan
berpisahnya ruh dari badan kecuali kelezatan ilmu dan iman, maka ia akan
menjadi sempurna setelah berpisah.” (Miftah Dar as-Sa’adah, jilid I,
hlm. 447, tahqiq Syaikh Ali Hasan).
5.
Tidak Tertipu
Dengan Atraksi Buatan Setan
Syaikh Ali bin Muhammad al-Sinan mengatakan: “Sebagian
manusia ada yang menikam perutnya hingga keluar ususnya dihadapan manusia, lalu
dia istighotsah dengan seorang wali, kemudian dia dapat mengembalikan
ususnya kedalam perut. Demikianlah setan membuat tipu daya. Orang menyangka itu
adalah karomah yang di dapat dari wali tersebut. Ini adalah bentuk kejahilan
mereka terhadap agama ini.” (Syarah Thahth-hir al-I’tiqad ‘an adraan
al-Ilhad,karya ash-Shan’ani, Syaikh Ali bin Muhammad al-Sinan, cet. 1,
1425, Makkah, hlm. 70).
6.
Bisikan setan
mengantarkan kepada mencari ilmu
Ibnu Wahab rahimahullah berkata: “Pada mulanya aku
tekun beribadah sebelum menuntut ilmu, kemudian setan membisikiku tentang
penyebutan Isa ‘alaihissalam, bagaimana dia diciptakan oleh Allah (tanpa
ayah, red.). Aku mengadukan hal itu kepada seorang Syaikh, ia berkata:
‘Tuntutlah Ilmu’. Itulah yang menyebabkan aku menuntut ilmu.” (Tartib
al-Madarik wa Taqrib al-Masalik, jilid III, hlm. 237).
7. Setan tidak bisa
menjelma menjadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya mengaku-aku
Ketika menjelakan tentang hadits no. 5023 dari Sunan
Abi Dawud, yaitu sabda beliau shallallahu’alaihi wa sallam :
“Setan tidak dapat menjelma menjadi diriku”.
Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad mengatakan : “Maksudnya
adalah sesuai keadaan yang ada pada diri beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” Terkadang setan menjelma dengan bentuk yang lain, dan mengaku
bahwa ia adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Min Fawaid Dars
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad fi Syarh Sunan Abi Dawud, disusun oleh
Muhammad Muhammadi bin Muhammad Jamil an-Nurstani, hlm. 152 dalam nuskhah yang
digabung dengan Khatm Sunan Abi Dawud, karya Imam Abdullah bin Salim
al-Bashri [wafat 1134H]).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar