Dunia di Hadapan Seorang Muslim

Dunia di Hadapan Seorang Muslim
Di dalam kehidupan dunia ini berbagai macam cara orang dalam mnyikapi kehidupan dunia. Ada orang-orang yang tersibukkan dengan dunia, ada orang-orang yang sangat ambisius dengan target-target dunianya hingga semua yang ada di hadapannya harus dihitung berdasarkan untung rugi dunia, dan sebaliknya ada orang-orang yang “seperti” sangat anti dengan dunia, ia jauhi dunia, ia tinggalkan dunia dan ia lebih memntingkan amalah akhirat “yang menurutnya” itu adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan yang kekal di akhirat. 

Sebagai seorang muslim, tentu kita harus bersikap sesuai dengan apa yang di inginkan dalam Syariat ini. Kita tidak boleh mengambil sikap sendiri, atau mengambil satu sisi syariat dan meninggal sisi yang lainnya.

Ketika kita melihat kajian-kajian dari para ulama, maka kita akan dapati bahwasannya dunia ini tidak pernah mendapat pujian sedikitpun baik di dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Dan ini bukan berarti haram bagi kita untuk mengambil bagian dari dunia ini, karena ada satu ayat di dalam al-Qur’an yang menjelaskan dibolehkannya kita mengambil bagian dari dunia ini. Dan ayat ini juga oleh sebagian orang di salah artikan sebagai dalil bahwasannya dunia ddan akhirat ini dibagi menjadi setengah-setengah. Yaitu setengah dipergunakan waktu kita untuk dunia, dan setengah sisanya untuk mengejar akhirat. Padahal jika kita mau jujur dan adil dalam berpandangan tentu jika benar-benar ini diterapkan maka jangankan setengan seperempatnya saja kita belum tentu dapat benar-benar fokus dalam beramal akhirat.

Ayat di dalam al-Qur’an yang kami maksut adalah, Firman Allah di dalam Surat Al-Qoshshosh ayat 77. Allah ta’ala berfirman,

وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al Qashshash: 77).

Ibnu katsir menjelaskan ayat ini, Gunakanlah yang telah Allah anugerahkan untukmu dari harta dan nikmat yang besar untuk taat pada Rabbmu dan membuat dirimu semakin dekat pada Allah dengan berbagai macam ketaatan. Dengan ini semua, engkau dapat menggapai pahala di kehidupan akhirat.

Janganlah engkau melupakan nasibmu dari kehidupan dunia yaitu dari yang Allah bolehkan berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan menikah. Rabbmu masih memiliki hak darimu. Dirimu juga memiliki hak. Keluargamu juga memiliki hak. Istrimu pun memiliki hak. Maka tunaikanlah hak-hak setiap yang memiliki hak.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 37, cit Rumaysyo.Com).

Dalam Tafsirnya, Syaikh Sa’di juga menjelaskan, "Yaitu, Kami tidak memerintahkanmu supaya menyedekahkan seluruh hartamu sehingga kamu menjadi terlantar. Namun bersedekahlah untuk kemaslahatan akhiratmu dan nikmatilah duniamu, tanpa merusak agama dan akhiratmu." (hlm. 731 surat Al Qashash ayat 77 cit almanhaj.co.id)

Dalam Tafsir Al Jalalain juga disebutkan, “Janganlah engkau tinggalkan nasibmu di dunia yaitu hendaklah di dunia ini engkau beramal untuk akhiratmu.” (Tafsir al Jalalain hlm 4, cit Rumaysho.Com)

Dari sini, dapat kita pahami, bahwasannya Allah memiliki hak atas hambanya, setiap kita memiliki hak, istri, keluarga memiliki hak, maka kita harus dapat berlaku adil dalam melaksanakan  hak-hak tersebut. Jangan sampai kita terlantarkan salah satu hak demi mencapai apa yang menurut kita lebih utama.

Seperti orang yang fokus beribadah, berdakwah dengan menyampingkan hak-hak istri, hak keluarga sehingga mereka terlantar dari segi makanan, harta bahkan pendidikannya. Kita fokus kepada orang banyak, namun kita lalai kepada yang sedikit di sekitar kita. Padahal Allah juga berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.  (at-Tahrîm : 6)

Jangan sampai kita berdalil dengan zuhud ingin meninggalkan dunia karena Allah namun berbuat dzolim kepada keluarga, dimana ternyata istri keluarga juga memiliki hak dan menunaikannya juga bentuk ibadah kepada Allah ta’ala.

Atau mungkin ada juga yang ingin meraih keutamaan dengan meninggalkan dunia, menyerahkan seluruh usia kehidupannya untuk berdakwah keapda Allah padahal ia tidak memiliki bekal yang cukup dalam berdakwah akhirnya iapun juga berbuat kedzoliman yang besar yaitu kesyirikan akibat ia melaluikan masalah tauhid.

“Wahai puteraku, janganlah berbuat syirik kepada Allah, karena sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar. (QS. Luqman : 13).

Terkadang kita takut melakukan kedzoliman kepada orang lain, namun kita tidak takut berbuat dzolim kepada Allah karena kurangnya ilmu tauhid. Maka hendaknya setiap amalan apalagi amalan-amalan ibadah dimana dengan amal tersebut kita mengharapkan keridhoan kecintaan Allah ta’ala hendaknya kita selalu selaraskan dengan aturan-aturan syar’i dan tidak mengambil satu sisi dengan meninggalkan sisi lainnya.

Jangan sampai kita termasuk orang yang mengambil dunia dan cinta terhadapnya yang menyebabkan lupa akhirat, dan jangan juga kita yang berlebihan dengan meninggalkan dunia secara totalitas namun lupa terhadap hak-hak masing-masing.

Sesungguh mengambil dunia itu di perbolehkan, yaitu mengambil dunia untuk meraih kemaslahatan akhirat. Jadi maksut mengambil dunia ini adalah tetap bertujuan untuk akhirat dan bukan semata-mata karena dunia saja.

Dan seorang muslim dilarang untuk tertipu dengan dunia. Maka ambilah dunia untuk kemaslatan akhiratmu, dan jangan sampai engkau tertipu oleh dunia. Kiranya ini adalah sikap yang idealnya dimiliki oleh seorang muslim.

Perlu juga di ingat dalam menjalankan agama ini, pelajarilah apa yang menjadi prioritas bagimu, apa yang paling penting dari hal-hal yang penting, kemudian pelajarilah hal-hal yang penting selanjut dan selanjutnya, sehingga amalan kita dapat diterima dan menjadi amalan sholih. Dan prioritas utama, terpenting dari hal-hal yang penting adalah permasalahan tauhid, permasalahan akidah. Karena dengan salah satau sebab yaitu tauhid yang benar, akidah yang luruslah amalan kita dapat diterima menjadi amalan sholih. Dan tauhid ini adalah salah satu kunci diterimanya. Seberapapun banyak amalan kita, jika tidak dibarengi dengan tauhid yang lurus bahkan dibarengi dengan kesyirikan maka batal, maka gugurlah amalan kita seperti debu, dan akhirnya kita menjadi orang yang merugi. Wal iyyadzubillah. Nasalullaha salamah.

Wallahu a’alam.


0 komentar: