Malu Yang Terbalik
Malu merupakan hal yang terpuji di dalam
syariat Islam. Hal ini sebagaimana yang disifatkan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau adalah orang yang sangat pemalu,
bahkan lebih pemalu dari gadis pigitan. Hal dijelaskan oleh Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia
berkata bahwasannya,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang sangat pemalu, lebih pemalu dari gadis pingitan. Apabila
beliau tidak menyenangi sesuatu, maka kami dapat mengetahuinya di wajah beliau.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Malu ini
pula bagi seorang muslim merupakan salah satu cabang dari keimanan. Hal ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau bersabda,
“Iman memiliki lebih dari enam puluh
cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
Dari sini
jelas bahwasannya sifat malu ini adalah terpuji karena telah dipuji dan
dimiliki oleh suri tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan
bahkan malu merupakan bagian dari keimanan seorang muslim.
Jika seorang
muslimah malu ketika menampakkan auratnya ditempat umum sehingga ia mengenakan
busana yang syar’i maka ini malu yang berbuah ibadah, namun ternyata di zaman
kita sekarang ini ada seorang wanita yang malah justru malu ketika ia harus
mengenakan gamis yang syar’i. Mereka malu mengenakan
jilbab yang syar'i, mereka malu mengenakan pakaian yang serba tertutup, mereka malu
menjalankan syariat Allah ini.
Inilah malu
yang kami sebut terbalik dan malu ini adalah malu yang tercela dalam syariat.
Seharusnya malu yang dimiliki oleh seorang muslim ini adalah malu berbuat dosa,
malu melanggar syariat, tapi sekarang malah justru malu itu ditempatkan pada
hal yang sebaliknya. Banyak muslim dan muslimah saat ini yang mereka malu
memakai pakaian syar’i, bagi muslimah mereka malu memakai jilbab-jilbab dengan
ukuran yang panjang karena dilingkungannya mayoritas membuka aurat, yang
muslimnya malu memakai celana atau pakaian jenis lain diatas mata kaki karena
malu mayoritas dilingkungannya musbil semua.
Maka
hendaknya bagi setiap muslim lebih mengutamakan Allah dan syariat-Nya diatas
segala hal, diatas kebanyakan orang, diatas budaya dan diatas semuanya.
Janganlah ketika mayoritas masyarakat disekitar kita sudah rusak, mayoritas
orang menjauh dari syariat Islam, mayoritas manusia berjalan diatas keburukan
membuat kita enggan menegakkan syariat Islam dalam diri kita karena tidak siap
menjadi orang asing. Cukuplah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ini menjadi motivasi.
“Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam
keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu.” (HR. Muslim)
Ketika
mayoritas manusia berbuat kesalahan, mayoritas manusia membuka aurat, mayoritas
manusia berbuat bid’ah, dan mayoritas manusia berbuat kerusakan, maka jangan
takut untuk menjadi orang yang asing, yaitu asing karena ia mampu kukuh
berpegang pada tali agama Allah. Ia mampu lepas dari kebanyakan yang rusak, dan
ia mampu menahan perihnya bersabar diatas Sunnah, perihnya bersabar di atas
Agama Allah yang haq ini. Bukankah Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
pernah bersabda,
“Akan
datang suatu zaman kepada manusia, orang yang memegang agamanya ditengah mereka
ibarat orang yang menggenggam bara api” (HR. At Tirmidzi)
Sebagaimna
kita ketahui menggenggam bara api itu panas, jika kita lepaskan maka kita
lepaskan agama kita, dan jika kita genggam maka betapa panas bara apai itu. Dan
inilah keadaan manusia dizaman ini yang berpegang teguh pada agama Allah, yang
berpegang teguh dengan Sunnah dan mengamalkan syariat Allah ditengah-tengah
kerusakan yang merajalela.
Maka
janganlah rasa malu ini dibalik karena takut menyelisihi kebanyakan orang.
Karena banyaknya manusia berbuat sesuatu yang dianggap biasa bukanlah tolok
ukur kebenaran. Karena kebenaran itu dari syariat Allah walaupun yang
mengamalkannya hanya seikit saja. Jangan pernah malu berbuat kebaikan karena
berbuat kebaikan disaat melaksanakannya itu penuh dengan rintangan tentu
pahalanya akan berbeda saat kita mudah melaksanankannya. Bukankah pahala itu
bergantung pada besarnya ujian? Wallahu a’alam.
Fanpage kami di RUMAH BELANJA
MUSLIM
Add juga akun FB kami di RUMAH BELANJA
WHYLUTH
Artikel : Malu Yang Terbalik
0 komentar: