Hukum Jual Beli Online
Jual Beli Barang Melalui Telepon Dan
Internet
Penulis : DR. Erwandi
Tarmidzi, MA.
Sumber : Harta Haram Muamalat Kontemporer, Berkat Mulia Insani, Bogor, Cetakan Pertama, 2012.
Kemajuan
di bidang teknologi informatika juga merambat kepada kemajuan di bidang
perdagangan.
Dahulu,
sebuah transaksi niaga hanya da[at dilakukan dengan cara kedua belah pihak
hadir dalam satu majelis, namun dengan adanya telepon dan internet maka jarak
yang jauh antara dua pihak yang bertransaksi bukan lagi menjadi penghalang
untuk melangsungkannya.
Berbagai
jenis transaksi dapat dilakukan melalui media telepon dan internet, seperti
jual beli barang/jasa, penukaran mata uang penarikan uang tunai, pengiriman
uang, dan lain sebagainya. Khusus transaksi perbankan, kemajuan teknologi
informatika sangat dirasakan manfaatnya.
Namun
bagaimanakah syariat menyikapinya?
Para
ulama sepakat bahwa transaksi yang disyaratkan tunai serah terima barang dan
uang tidak dibenarkan untuk dilakukan melalui telepon dan internet, seperti
jual beli emas dan perak. Maka tidak sah membeli emas/perak melalui internet
dengan cara uang ditransfer ke rekening milik penjual, kemudian emas diterima
pembeli beberapa waktu setelah uang ditransfer, karena ini termasuk riba
nasi’ah, yang nanti akan dijelaskan dalam pembahasan riba ba’i. kecuali objek yang diperjual-belikan dapat diserah-terimakan saat
itu juga, seperti penukaran mata uang asing melalui ATM maka hukumnya boleh.
Sebagai
ilustrasi :
A
memiliki tabungan dalam bentuk rupiah di salah satu bank di Indonesia. Pada
saat A berada di luar negeri A membutuhkan uang dolar Amerika. Lalu A menarik
uang tunai dalam bentuk dollar menggunakan kartu ATM-nya pada salah satu
anjungan milik bank di Negeri ia berada.
Hal
ini dibolehkan dan tidak termasuk riba
ba’i, karena yang terjadi adalah penukaran uang rupiah dengan dollar secara
tunai dengan harga kurs di hari itu.
Hukum
di atas berdasarkan keputusan Majma’ Al
Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) No. 52 (3/6) tahun 1990, setelah
menjelaskan kaidah dalam transaksi menggunakan sarana komunikasi modern,
disebutkan, “Kaidah-kaidah yang telah
disebutkan di atas tidak dapat diterapkan untuk akad nikah karena disyaratkan
harus ada saksi, juga tidak dapat diterapkan untuk sharf (tukar menukar mata
uang, atau jual beli emas dan perak) karena disyaratkan harus serah-terima
barang dan uang secara tunai”. (Jurnal Majma' Al Fiqh Al Islami, Edisi VI, Jilid II, Hal 785).
Untuk
barang yang tidak disyaratkan serah terima tunai dalam jual belinya, yaitu
seluruh jenis barang, kecuali emas/perak dan mat uang maka jual beli melalui
internet dapat ditakhrij dengan jual
beli melalui surat-menyurat. Adapun jual beli melalui telepon merupakan jual
beli langsung dalam ijab dan qabul.
Sebagaimana
diputuskanoleh Majma’ Al Fiqh Al Islami
(divisi fikih OKI) keputusan No. 52 (3/6) tahun 1990, yang berbunyi, “Apabila akad terjadi antar dua orang yang
berjauhan tidak berada dalam satu majlis dan pelaku transaksi, satu dengan
lainnya tidak saling melihat, tidak saling mendengar rekan transaksinya, dan
media antar mereka adalah tulisan atau surat atau orang suruhan, hal ini dapat
diterapkan pada faksmili, teleks, dan layar computer (internet). Maka akad
berlangsung dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-masing pihak yang
bertransaksi.
Bila transaksi
berlangsung dalam satu waktu sedangkan kedua belah pihak berada di tempat yang
berjauhan, hal ini dapat diterapkan pada transaksi melalui telepon ataupun
telepon seluler, maka ijab dan qabul yang terjadi adalah langsung seolah-olah
keduanya berada dalam satu tempat”.
Dalam
transaksi menggunakan internet, penyediaan aplikasi permohonan barang oleh
pihak penjual di situs merupakan ijab
dan pengisian serta pengiriman aplikasi yang telah diisi oleh pembeli merupakan
qabul. Adapun barang hanya dapat
dilihat gambarnya serta dijelaskan spesifikasinyadengan lengkap, dengan
penjelasan yang dapat mempengaruhi harga jual barang.
Setelah
ijab dan qabul berlangsung pihak penjual meminta pembeli untuk mentransfer
uang ke rekening bank milik penjual. Dan setelah uang diterima, penjual
mengirim barang kepada pembeli melalui jasa pengiriman barang.
Karena
fisik barang yag diperjual-belikan tidak dapat disaksikan langsung, hany
sebatas gambar dan penjelasan spesifikasinya, maka jula beli ini dapat ditakhrij dengan ba’i al ghaib ala ash shifat (jual beli barang yang tidak
dihadirkan pada majelis akad atau tidak disaksikan langsung sekalipun hadir
dalam majelis, seperti ; beli barang dalam kardus/kotak, yang hanya dijelaskan
spesifikasinya melalui kata-kata).
Pemilik
situs belanja di internet bermacam-macam, ada yang memang menjual barang yang
telah dimilikinya, dan ada yang tidak memiliki barang yang ia tampilkan
disitusnya, hanya sebatas makelar.
Pemilik Situs Telah
Memiliki Barang yang Ditampilkan
Jika
pemilik situs telah memiliki terlebih dahulu barang yang ia tampilkan maka para
ulama berbeda pendapat tentang keabsahan hukumnya. Perbedaan pendapat ini
disebabkan oleh perbedaan mereka dalam hukum ba’i al ghaib ala ash shifat :
Pendapat pertama : jual beli barang yang tidak
disaksikan pada saat akad sekalipun barang
tersebut ada, hukumnya tidak sah. Pendapat ini merupakan mazhab syafi’i.
An
Nawawi berkata, “Pendapat yang kuat dalam mazhab bahwa ba’i al ghaib ala ash shifat tidak sah”. (Minhajut Thalibin, Jilid II, Hal 12).
Pendapat
ini berpegang kepada hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
diriwayatkan dari Abu Hurairoh radhiyallahu ‘anhu,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang jual - beli Gharar”. (HR. Muslim).
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual-beli yang mengandung unsur gharar,
dan jual beli barang yang tidak terlihat oleh mata, hanya sekedar penjelasan
melalui kata-kata termasuk jual beri gharar, karena objeknya tidak jelas. Dengan
demikian jual beli barang yang tidak disaksikan fisiknya dilarang.
Tanggapan : tidak benar ba’i al ghoib ala asyh shifat termasuk jual beli gharar, karena
sebuah objek barang menjadi jelas dapat diketahui dengan indera mata (melihat
langsung), dan juga dapat diketahui dengan indera lain, dengan cara penjelasan
spesifikasi barang melalui kata-kata baik dalam bentuk tulisan ataupun lisan.
Dan syari’at menghukumi sama antara mengetahui sesuatu hal dengan cara melihat
langsung atupun dengan sekedar uraian kata-kata.
Allah
berfirman, :
“Maka setelah datang kepada mereka apa yang
telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya.” (QS. Al Baqarah : 89)
Dalam
ayat diatas Allah menghukumi kafir orang Yahudi atas keingkaran mereka terhadap
Nabi Muhammad. Padahal mereka mengetahui Nabi Muhammad hanya melalui penjelasan
Taurat dan tidak dengan cara menyaksikan langsung. Dan Allah menghukumi sama
antara pengetahuan dengan uraian dan menyaksikan langsung.
Begitu
juga Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
“Janganlah seorang wanita bergaul dengan
wanita lain, kemudian ia mensifati (menjelaskan ciri-ciri tubuh) wanita
tersebut kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihat langsung wanita yang
disifati. “ (HR. Bukhori)
Hadist
ini sangat tegas menyatakan sama antara penjelasan melalui kata-kata dengan
melihat langsung.
Dengan
demikian, maka penjelasan spesifikasi barang melalui kata-kata sama dengan
melihat langsung dan dengan demikian tidak ada unsur gharar dalam jual beli
ini. (DR. Adil Syahin, aqdut taurid; haqiqatuhu wa ahkamuhu fil fiqhil Islami, Jilid I, Hal 296)
Pendapat kedua : ba’i
al ghoib ala asyh shifat hukumnya sah, pendapat ini merupakan mazhab
mayoritas para ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. (Al Mausu'ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyah, jilid IX, Hal 16)
Dalil
pendapat ini adalah nash-nash yang menjelaskan bahwa hukum jual beli pada
dasarnya adalah boleh / halal.
Allah
berfirman,
“Allah telah menghalalkan jual beli” (QS.
Al Baqarah : 275)
Ba’i al ghoib ala asyh shifat termasuk jual beli dan hukum asal jual
beli adalah halal, dengan demikian ba’i al ghoib ala asyh shifat hukumnya
halal.
Dan tidak
ada hal-hal yang menyebabkan jual beli ini menjadi haram maka hukumnya tetap
pada asalnya yaitu Halal.
Wallahu a’lam, pendapat yang menghalalkan jual beli ba’i al ghoib ala asyh shifat lebih
kuat, karena memang tidak ada hal yang mengubah hukumnya dari halal menjadi
haram. Tetapi perlu diingat bahwa penjelasan spesifikasi mesti harus jelas. Bila
tidak jelas, seperti seorang penjual mengatakan kepada pembeli, “saya jual baju yang ada dalam kotak ini
dengan harga sekian…” tanpa ada penjelasan tentang warna, ukuran, model,
jenis, dan hal-hal lain yang mempengaruhi harga barang maka hukumnya haram
karena termasuk jual beli gharar.
Setelah
mengetahui bahwa ba’i al ghoib ala asyh
shifat dibolekan syariat, maka hukum menjual barang yang telah dimiliki
oleh pemilik sebelum ditawarkan disitus miliknya hukumnya juga dibolehkan.
Pemilik situs belum memiliki barang
yang ditampilkan
Para
ulama sepakat bahwa tidak sah hukum jual beli jika pemilik situs tidak memiliki
barang-barang yang ia tampilkan pada situsnya. Biasanya proses ini berlangsung
sebagai berikut : pada saat pembeli telah mengirim aplikasi permohonan barang,
ia hanya menghubungi pemilik barang yang sesungguhnya tanpa melakukan akad jual
beli, hanya sebatas konfirmasi keberadaan barang, setelah ia meyakini
keberadaan barang lalu ia meminta pembeli untuk mentrasfer uang ke rekeningnya.
Setelah uang ia terima barulah ia membeli barang tersebut dan mengirimkannya
kepada pembeli.
Akad
jual beli ini tidak sah, karena ia menjual barang yang bukan miliknya. Akad ini
mengandung unsur gharar, disebabkan pada saat akad berlangsung penjual belum
dapat memastikan apakah barang dapat ia kirimkan kepada pembeli atau tidak?
Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Wahai Rasullullah, seseorang datang kepadaku
untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki,
apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkannya dari
pasar? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab, jangan engkau
jual barang yang belum engkau miliki! (HR. Abu Daud. Hadist ini dishahihkan
oleh Al Albani).
Solusi syar’i
Agar
jual beli ini menjadi sah, pemilik situs dapat melakukan langkah-langkah
berikut :
Beritahu
setiap calon pembeli bahwa penyediaan aplikasi permohonan barang bukan berarti
ijab dari penjual (pemilik situs).
Setelah
calon pembeli mengisi aplikasi dan mengirimkannya, pemilik situs tidak boleh
menerima langsung akad jual beli. Akan tetapi ia beli barang terlebih dahulu
barang tersebut dari pemilik barang sesungguhnya dan ia terima, kemudian baru
ia jawab permohonan pembeli dan memintanya untuk mentrasfer uang ke rekening
miliknya. Lalu barang dikirimkan kepada pembeli.
Untuk
menghindari kerugian akibat pembeli via interet menarik keinginannya untuk
membeli selama masa tunggu, sebaiknya penjual disitus mensyaratan kepada
pemilik barang sesungguhnya bahwa ia berhak mengembalikan barang selama tiga
hari sejak barang dibeli, ini yang dinamakan khiyar syarat.
Jika
langkah-langkah diatas diikuti, maka jualbelinya menjadi sah dan
keuntungannya pun menjadi halal.
Sumber : Harta Haram Muamalat Kontemporer, Berkat Mulia Insani, Bogor, Cetakan Pertama, 2012.
0 komentar: