Trend Busana Masa Kini

Saat ini sedang trend busana muslim dikalangan masyarakat Indonesia. Trend Berbusana Muslim ini ditandai dengan sudah mulai marak dan Umumnya pemakaian Jilbab oleh Wanita-wanita di Indonesia. Bahkan disebagian daerah ada yang pemerintahan daerah tersebut mewajibkan berjilbab Busana Muslim bagi wanita yang bekerja sebagai PNS di wilayah terebut. Hal ini menunjukkan perkembangan yang cukup baik bagi umat Islam di Indonesia dalam kebiasaan berBusana Muslim. Baik dalam artian Lebih baik Berjilbab daripada tidak Berbusana Muslim / Jilbab. Terlepas dari trend Busana Muslim / Juga Jilbab, Hijab Gaul yang Belum memenuhi Kriteria dalam Syariat Islam.

Namun dalam hal ini belum dikuti dengan perkembangan penggunaan Busana Muslim bagi para bapak-bapak nya, pemuda-pemuda Islamnya. Bahkan parahnya jika kita lihat di jalan-jalan, banyak dari Pemuda kita, yang jika ditanya beragama Islam namun Pakaian mereka tidak mencerminkan seseorang yang berAgama Islam. Ada diantara mereka yang memakai kaos dengan Lambang Yahudi, ada juga yang Lebih Menyukai dengan Lambang-Lambang Setan, Lambang-Lambang orang Kafir, Lambang-Lambang Kemusrikan, bahkan ada beberapa yang Malah Menyukai acara-acara yang berbau penyembahan Setan. Waliyyadzubillah..

Pengaruh dalam berpakaian para pemuda Islam kita ini jika kita tengak akar sumbernya adalah salah satunya dari kecintaan mereka terhadap Musik-Musik Barat. Dengan mereka menyukai, menggadrungi musik-musik tersebut mereka mulai mengidolakan artis-artis penyanyi tersebut, karena mereka sudah mengidolakan penyanyi tersebut akhirnya SEMUA GAYA DARI MEREKAPUN di IKUTI. Dari yang baik sampai yang tidak baik dan menyesatkan.

Dari sedikit deskripsi atau gambaran keadaan pemuda Muslim Kita diatas maka ada baiknya bagi semua diri Kita yang Islam, mulai dari diri kita, Keluarga kita, teman, lingkungan sekitar, untuk mencoba menerapkan Cara Berpakaian Muslim, atau minimal Pakaian yang Biasa pada Umumnya yang Menututp Aurat dan Tidak Menampakkan Simbol-Simbol yang Terlarang dalam Islam.

0 komentar:

Surat Balasan Untuk Ibu

Kepada yang tercinta
Bundaku yang ku sayang

Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga. Shalawat serta salam, hamba yang lemah ini panjatkan keharibaan Nabi yang mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…

Ibu… aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka, dan aku telah membacanya, ya aku telah mengejanya kata demi kata… tidak ada satu huruf pun yang aku terlewatkan.

Tahukah engkau, wahai Ibu, bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’ dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan?! Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah, sekiranya diletakkan ke atas daun yang hijau tentu dia akan kering. Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut tidak tersudu oleh itik dan tidak tertelan oleh ayam. Sebenarnyalah bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkaan… bagaikan awan kaum Tsamud yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan kepadaku…
Ibu…

Aku baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!! Bagaimana tidak, sekiranya surat itu ditulis oleh orang yang bukan ibu dan ditujukan pula bukan kepadaku, layaklah orang mempunyai hati yang keras ketika membaca surat itu menangis sejadi-jadinya. Bagaimana kiranya yang menulis itu adalah bunda dan surat itu ditujukan untuk diriku sendiri!!
Aku sering membaca kisah dan cerita sedih, tidak terasa bantal yang dijadikan tempat bersandar telah basah karena air mata, aku juga sering menangis melihat tangisnya anak yatim atau menitikkan air mata melihat sengsaranya hidup si miskin. Aku acap kali tersentuh dengan suasana yang haru dan keadaan yang memilukan, bahkan pada binatang sekalipun. Bagaimana pula dengan surat yang ibu tulis itu!? Ratapan yang bukan ibu karang atau sebuah drama yang ibu perankan?! Akan tetapi dia adalah sebuah kenyataan…
Bunda yang kusayangi…

Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu… semua yang engkau telah sebutkan benar adanya. Aku masih ingat ketika engkau ditinggal ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku. Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja, jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan. Dengan jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya, sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yang engkau ambil tersebut sebagai hutang dan hendaklah dicatat dulu. Hutang yang engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan dapat melunasinya.

Ibu… aku masih ingat ketika kami anak-anakmu menangis untuk dibuatkan makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi yang telah lama engkau jemur dan keringkan, tidak jarang pula engkau simpan untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku mengambilnya dengan segera. Atau aku masih ingat, engkau sengaja mengambilkan air didih dari nasi yang sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.

Ibu… maafkanlah anakmu ini, aku tahu bahwa semenjak engkau gadis sebagaimana yang diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua sekarang, engkau belum pernah mengecap kebahagiaan. Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anak-anakmu. Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia kecuali ketika kami anak-anakmu datang ziarah kepadamu. Selain dari itu tidak ada kebahagiaan, hari-harimu adalah perjuangan. Semua hidupmu hanya pengorbanan.
Ibu…

Maafkan aku anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri, wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang engkau telah sanjung pula suku dan negerinya!! Engkau katakan ketika itu padaku, “Ambilah ia sebagai istrimu, gadis yang pemalu yang pandai bergaul, cantik dan berakhlak mulia, punya hasab dan nasab!.”
Semenjak itu pula aku seakan-akan lupa denganmu. Keberadaan dia sebagai istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku, senyuman dan sapaannya telah membuatku terlena dengan sapaan dan himbauanmu.

Ibu… aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena ia telah menunaikan kewajibannya sebagai istri, terutama perhatiannya dalam berbakti kepadamu, sudah berapa kali ia memintaku untuk menyediakan waktu untuk menziarahimu. Hari yang lalu ia telah buatkan makanan buatmu, akan tetapi aku tidak punya waktu mengantarkannya, hingga makanan itu telah menjadi basi…

Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawa-bawa namanya dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya. Karena selama ini, di mataku dia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya banyak untuk kebahagiaan rumah tangganya.
Ibu…

Ketika seorang laki-laki menikah dengan seorang wanita, maka seolah-olah dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka atau orang-orangan. Sekali lagi maafkan aku! Aku tidaklah membela diriku, karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku.. anakmu ini!! Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang kualami, perubahan suasana setelah engkau dan aku berpisah dan perubahan jiwa ketika aku tidak hanya mengenal dirimu, tapi kini aku telah mengenal satu wanita lagi.
Ibu… perkawinanku membuatku masuk ke dunia baru, dunia yang selama ini tidak pernah kukenal, dunia yang hanya ada aku, istri dan anakku!! Bagaimana tidak, istri yang baik dan anak-anak yang lucu-lucu!! Maafkan aku Ibu… aku merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang lain, yang penting bagiku adalah keadaan mereka.
Ibu…

Maafkan aku, anakmu!! Aku telah lalai… aku telah lupa… aku telah menyia-nyiakanmu!! Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan untuk cinta kepada anaknya, dan anak difitrahkan untuk menyia-nyiakan orang tuanya. Oleh sebab itu dilarang mencintai anak secara berlebihan dan anak dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya.
Itulah yang terjadi pada diriku, wahai Ibu!! Aku seperti orang linglung ketika melihat anakku sakit, aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare. Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu atau pada ayah!!
Ibu…

Sulit aku merasakan perasaanmu!! Kalaulah bukan karena bimbingan agama yang telah lama engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti kebanyakan anak-anak yang durhaka kepada orang tuanya!! Kalaulah bukan karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.
Setelah suratmu datang, baru aku mengerti!! Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau simpan dalam-dalam seperti semua permasalahan berat yang engkau hadapi selama ini.

Sekarang baru aku mengerti, bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anaknya telah menikah dengan seorang wanita. Di matanya wanita yang telah mendampingi putranya itu adalah manusia yang paling beruntung.
Bagaimana tidak!! Dia dapatkan seorang laki-laki yang telah matang pribadi dan matang ekonomi dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya. Dengan detak jantungnya ia peroleh kematangan jiwa dan dari uang ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi. Sekarang dengan ikhlas dia berikan kepada seorang wanita yang tidak ada hubungannya, kecuali hubungan dua wanita yang saling berebut perhatian seorang laik-laki. Laki-laki sebagai anak dari ibunya dan ia sebagai suami dari istrinya.

Ibuku sayang…
Maafkan aku Ibu!! Ampunkan diriku. Satu tetesan air matamu adalah lautan api bagiku. Janganlah engkau menangis lagi, jangan engkau berduka lagi!! Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!! Aku takut Ibu… aku cemas dengan banyaknya dosaku kepada Allah sekarang bertambah pula dengan dosaku terhadapmu. Dengan apa aku ridho Allah, sekiranya engkau tidak meridhoiku. Apa gunanya semua kebaikan sekiranya di matamu aku tidak punya kebaikan!! Bukankah ridho Allah tergantung dengan ridhomu dan sebaliknya bukankah kemurkaan Allah tergantung dengan kemurkaanmu!! Tahukah engkau Ibu, seburuk-buruknya diriku, aku masih merasakan takut kepada murka Allah!! Apalah jadinya hidup jika hidup penuh dengan murka dan laknat serta jauh dari berkah dan nikmat.

Kalau akan murka itu pula yang aku peroleh, izinkan aku membuang semua kebahagiaanku selama ini, demi hanya untuk dapat menyeka air matamu! Kalau akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau, mau engkau perbuat apa?!

Sungguh aku tidak mau masuk neraka! Seakalipun -wahai Bunda- aku memiliki kekuasaan seluas kekuasaan Firaun, mempunyai kekayaan sebanyak kekayaan Qarun dan mempunyai keahlian setinggi ilmu Haman. Pastikan wahai Bunda tidak akan aku tukar dengan kesengsaraan di akherat sekalipun sesaat. Siapa pula yang tahan dengan azab neraka, wahai Bunda!!

Ibu maafkan anakmu!! Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit!! Maka, ampun, wahai Ibu!! Aku angkat seluruh jemariku dan sebelas dengan kepala untuk mohon maaf kepadamu!! Kalaulah itu yang terjadi, do’a itu tersampaikan! Salah ucap pula lisanmu!! Apalah jadinya nanti diriku!! Tentu kebinasaan yang telak. Tentu diriku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir, apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula!!

Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai Ibu!! maka, tidak ada lagi gunanya hidup, tidak ada lagi gunanya kekayaan, tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan.
Ibu dalam sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang bahagia setelah kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan bagaimana nasib bagi yang terkena kutuk di akherat, tentu lebih sengsara.

Ibu… setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku. Suratmu akan kujadikan “jimat” dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali, tiap kali aku lengah darimu akan kutalqin diriku dengannya. Akan kusimpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku. Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah mereka dahulu pernah lalai dalam berbakti, lalu sadar dan kembali kepada kebenaran, ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yang seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.

Tua… siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Bunda!! Badanku yang saat ini tegap, rambutku hitam, kulitku kencang, akan datang suatu masa badan yang tegap itu akan ringkih dimakan usia, rambut yang hitam akan dipenuhi uban ditelan oleh masa dan kulit yang kencang itu akan menjadi keriput ditelan oleh zaman.
Burung elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat yang tinggi, suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung kecil lainnya. Singa si raja hutan yang selalu memangsa, jika telah tiba tuanya, dia akan dikejar-kejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal buruk yang akan dipertanggungjawabkan.

Ibu, do’akan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu di masa banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke langit munajatmu untukku agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.

Ibu… sesampainya suratku ini, insya Allah, tidak akan ada lagi air mata yang jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku denganmu, bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku, tawamu adalah tawaku dan tangismu adalah tangisku. Aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya dan aku berharap aku dapat membahagiakanmu selama mataku masih berkedip.

Bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum!! Ini kami, aku, istri, dan anak-anak sedang bersiap-siap untuk bersimpuh di hadapanmu, mencium tanganmu.
Salam hangat dari anakmu.

0 komentar:

Kutitip Surat Ini Untukmu


Assalamu’alaikum,
Segala puji Ibu panjatkan kehadirat Allah ta’ala yang telah memudahkan Ibu untuk beribadah kepada-Nya. Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para sahabatnya. Amin…

Wahai anakku,
Surat ini datang dari Ibumu yang selalu dirundung sengsara… Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri. Setiap kali menulis, setiap kali itu pula gores tulisan terhalang oleh tangis, dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…

Wahai anakku!
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki laki yang cerdas dan bijak! Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau remas kertas ini lalu engkau merobeknya, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati dan telah engkau robek pula perasaanku.

Wahai anakku
25 tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan kabar tentang kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi…

Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan. Tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku
kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu. Aku mengandungmu, wahai anakku! Pada kondisi lemah di atas lemah, bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan melihat terjangan kakimu dan balikan badanmu di perutku. Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.

Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah saat itu, ketika fajar pada malam itu, yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang sekejap pun. Aku merasakan sakit yang tidak tertahankan dan rasa takut yang tidak bisa dilukiskan.

Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula aku melihat kematian menari-nari di pelupuk mataku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia. Engkau pun lahir… Tangisku bercampur dengan tangismu, air mata kebahagiaan. Dengan semua itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku padamu semakin bertambah dengan bertambah kuatnya sakit. Aku raih dirimu sebelum aku meraih minuman, aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes air ke kerongkonganku.

Wahai anakku
telah berlalu tahun dari usiamu, aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Saripati hidupku kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu.

Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu, agar aku berbuat sesuatu untukmu…itulah kebahagiaanku!

Kemudian, berlalulah waktu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai, menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu yang tidak pernah mengenal lelah serta mendo’akan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.

Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis yang telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu. Tatkala itu aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan hidupmu.

Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu. saat itu pula hatiku mulai serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa. Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan dan sedih karena engkau pelipur hatiku akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakan-akan aku menyeretnya dengan berat. Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu, senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran. Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.

Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu. Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu. Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering aku merasa bahwa engkaulah yang menelepon. Setiap suara kendaraan yang lewat aku merasa bahwa engkaulah yang datang.

Akan tetapi, semua itu tidak ada. Penantianku sia-sia dan harapanku hancur berkeping, yang ada hanya keputusasaan. Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan. Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan oleh-Nya.

Anakku
 ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang bukan-bukan. Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu. Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar
Ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.

Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak memandang wajahmu!! Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana sekalipun hanya satu detik. Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.

Anakku..telah bungkuk pula punggungku. Bergemetar tanganku, karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit…
Berdiri seharusnya dipapah, dudukpun seharusnya dibopong, sekalipun begitu
cintaku kepadamu masih seperti dulu…
Masih seperti lautan yang tidak pernah kering. Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.

Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang, niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal. Sedangkan kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!?

Mana balasan baikmu! Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?! Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba. Bukankah Allah ta’ala
telah berfirman, “Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman : 60) Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah berlalunya hari dan berselangnya waktu?!

Wahai anakku,
Setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku. Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku, engkaulah hasil dari keletihanku. Engkaulah laba dari semua usahaku! Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?! Pernahkah aku berbuat khilaf dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu, atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?

Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantumu . Semua mereka telah mendapatkan upahnya!? Mana upah yang layak untukku wahai anakku!

Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu? Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini? Sedangkan Allah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.

Wahai anakku!!
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.

Wahai anakku!
Hatiku teriris, air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat. Orang orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel, dermawan, dan berbudi.

Anakku…
Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah, tidak terenyuhkah jiwamu
melihat orang tua yang telah renta ini, ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!? Bukan karena apa-apa?! Akan tetapi hanya karena engkau telah berhasil mengalirkan air matanya… Hanya karena engkau telah membalasnya dengan luka di hatinya… hanya karena engkau telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya… hanya karena engkau telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!

Wahai anakku,
ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu. Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik. Semoga aku bertemu denganmu di sana dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits: “Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)

Anakku..
Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu. Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi. Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama. Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.

Akan tetapi, anakku!
Mungkin ada satu hadits yang terlupakan olehmu! Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia? Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”, lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya. (Muttafaqun ‘alaih)

Wahai anakku!!
Ini aku, pahalamu, tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak. Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan keluarga dan anak-anaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan. Dia telah gagal dalam usahanya. Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya, tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar.
Berletih mencari emas di negeri orang kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.

Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan. Engkau berletih mencari pahala, engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada pahala yang maha besar. Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau mempercepat amalmu. Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaan-Nya?

Anakku,
yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa jangan-jangan engkaulah yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan, “Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, “Orang yang mendapatkan kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga. (HR. Muslim)

Anakku…
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintu-pintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang dapat menyembuhkannya. Aku tidak akan melakukannya, Nak! Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku… Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan engkau adalah pelipur laraku. Bagaimana Ibu
tega melihatmu merana terkena do’a mustajab, padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.

Bangunlah Nak!

Uban sudah mulai merambat di kepalamu. Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula, dan al jaza’ min jinsil amal… “Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…” Aku tidak ingin engkau nantinya menulis surat yang sama kepada anak-anakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.

Wahai anakku, bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!! Sesungguhnya surga di kakinya. air matanya, balurlah kesedihannya, kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk. Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu! Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya.

Wassalam,
Ibumu

Sumber :  Disalin dari Ebook Kutitipkan Surat Ini Untukmu karya Al-Ustadz Armen Halim Naro, Lc. Rahimahullah, Pustaka El-Posowy, 2008.

0 komentar:

Kesempurnaan Di Atas Kesempurnaan Dalam Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allah

Oleh Ustadz Abdullah Taslim al-Buthoni, MA. 

Allah  ‘azza wa jalla menyifati nama-nama-Nya dalam Al-Qur’an dengan al-husna (maha indah) yang berarti kemaha indahan yang mencapai puncak kesempurnaan. Karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada celaan atau kekurangannya sedikitpun dari semua sisi. (Lihat kitab al-Qawa’idul Mutsla hal. 21).

Allah ‘azza wa jalla berfirman, yang artinya :
Hanya milik Allah-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan (QS. al-A’raf/7:180).

Demikian pula sifat-sifat-Nya adalah maha sempurna yang mencapai puncak kesempurnaan serta tidak ada cela dan kekurangan sedikitpun.

Allah ‘azza wa jalla  berfirman, yang artinya :
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS. an-Nahl/16:60).

Artinya : Allah ‘azza wa jalla  mempunyai kesempurnaan mutlak (yang tidak terbatas) dari semua segi. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir (2/756)).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “(sifat-sifat) maha sempurna adalah milik Allah, bahkan Dia memiliki (sifat-sifat) yang kesempurnaannya mencapai puncak yang paling tinggi, sehingga tidak ada satu kesempurnaanpun yang tanpa cela kecuali Allah ‘azza wa jalla berhak memilikinya untuk diri-Nya yang maha suci.” (Kitab al-Qawa’idul Mutsla (6/71)).

Kesempurnaan di Atas Kesempurnaan
Kesempurnaan yang paling tinggi ini ada pada masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala secara tersendiri atau terpisah, sehingga jika dua dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya digabungkan atau digandengkan, sebagaimana yang banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, tentu ini menunjukkan kemahasempurnaan lain dari penggandengan dua nama dan dua sifat tersebut. Ini yang dinamakan oleh sebagian Ulama dengan”al-kamalu fauqal kamal” (kesempurnaan di atas kesempurnaan) (Lihat penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dalam al-Qawa’idul Mutsla, hlm.  23).

Tidak diragukan lagi bahwa penggandengan dua nama dan dua sifat Allah ‘azza wa jalla ini mengandung hikmah yang agung dan faidah yang besar dalam mengenal kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala. Ini menunjukkan kemahasempurnaan Allah subahanahu wa ta’ala yang disertai dengan sanjungan dan pujian yangagung bagi-Nya. Karena masing-masing dari nama nama-nama-Nya mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya ditinjau dari penggandengan keduanya (Lihat kita Fiqhul Asmâ-il Husnâ (Hal. 41)).

Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Demikianlah keumuman sifat-sifat Allah yang digandengakan (satu sama lain) dan nama-nama-Nya yang digabungkan dalam Al-Qur’an.

Sesungguhnya (sifat Allâh)al-Ginâ (maha kaya) adalah sifat kesempurnaan, demikian pula al-Hamdu(maha terpuji), ketika keduanya digabungkan (Misalnya dalam QS Fâthir : 15 dan QS Luqmân : 26) maka (menunjukkan) kesempurnaan lain. Bagi-Nya sanjungan dalam (sifat) maha kaya-Nya, juga sanjungan dalam sifat maha terpuji-Nya serta sanjungan dalam penggabungan keduanya.

Demikian pula (penggabungan dua nama-Nya) al ‘Afuw al-Qadir (Yang Maha Pemaaf Lagi Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu), ”al-Hamid al-Majid“ (Yang Maha Terpuji Lagi Maha Mulia), dan “al-Aziz al-Hakim” (Yang Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana). Renungkanlah semua ini, karena ini termasuk pengetahuan yang paling agung (dalam Islam)” (Kitab Bada-i ul Fawa-id (1/168-169)).

Contoh-contoh Penggabungan Dua Nama Allah subhanahu wa ta’ala Dalam Al-Qur’an
1.    Nama Allah “al-Aziz” (Yang Maha Perkasa) dan “al-Hakim” (Yang Maha Memiliki hukum dan hikmah (Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala, lihat kitab taisirul Karimir Rahman (hlm. 131 dan 946)) yang sempurna).

Kedua nama ini disebutkan dalam banyak ayat  al-Qur’an, misalnya : QS al-Baqarah/2, ayat ke-129, ali ‘Imran/3 ayat ke-62, al-Maidah/5 ayat ke-38 dan ke-118.

Masing-masing dari kedua nama Allah ‘azza wa jalla yang maha indah ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya, yaitu al-‘izzah (maha perkasa) pada nama-Nya “al-Aziz” dan hukum serta hikmah yang sempurna pada nama-Nya “al-Hakim”.

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa kemahaperkasaan Allah ‘azza wa jalla selalu bersama sifat hikmah-Nya, sehingga kemahaperkasaan-Nya tidak mengandung kezhaliman atau aniaya, ketidakadilan dan keburukan, karena ditempatkan tepat pada tempatnya. Ini berbeda dengan makhluk, di antara mereka ada yang mungkin memiliki keperkasaan, akan tetapi karena tidak disertai hikmah, sehingga keperkasaan itu justru menjadikannya berbuat aniaya, tidak adil dan berprilaku buruk.

Demikian pula hukum dan hikmah Allah subahanhu wa ta’ala selalu bersama kemahaperkasaan-Nya yang sempurna, sehingga mampu diberlakukan-Nya pada semua makhluk-Nya tanpa ada satu makhlupun yang bias menghalangi. Ini berbeda dengan hukum dan hikmah pada makhluk atau manusia yang penuh dengan kekurangan dan tidak selalu disertai dengan keperkasaan, sehingga sering tidak bisa diberlakukan (Lihat kitab al-Qawa’idul Musta (hlm. 23) dan Fiqhul Asma-il Husna (hlm. 41)).

2.    Nama Allah “al-Ganiyyu” (Yang Maha Kaya) dan “al-Hamid” (Yang Maha Terpuji).
Kedua nama ini juga disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya : QS. Fathir/35 ayat ke-15, Luqman/31 ayat ke-12 dan 26.

Masing-masing dari kedua nama Allah ‘azza wa jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya, yaitu al-gina (maha kaya) pada nama-Nya “al-Ganiyyu” dan al-Hamdu (maha terpuji) pada nama-Nya “al-Hamid”.

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa barangsiapa memuji Allah ‘azza wa jalla dan bersyukur kepada-Nya atas semua limpahan nikmat dan karunia-Nya maka sesungguhnya Dia ‘azza wa jalla memang berhak untuk dipuji dan disyukuri atas segala nikmat-Nya. Namun segala pujian dan sanjungan kepada-Nya tidak menambah kemuliaan dan kekuasaan-Nya sedikitpun. Karena Dia Maha Kaya sehingga Dia subhanahu wa ta’ala tidak butuh kepada pujian dan sanjungan makhluk-makhluk-Nya, sebagaimana ketaatan makhluk-Nya tidak bermanfaat bagi-Nya dan perbuatan maksiat mereka tidak merugikan dan membahayakan-Nya sedikitpun.

Maka semua ketaatan manusia adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri, sebagaimana perbuatan maksiat mereka akan merugikan diri mereka sendiri. Allah ‘azza wa jalla berfirman, yang artinya :
Barang siapa bersyukur (kepada Allah) maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” (QS. Luqman/31:12).

Dalam sebuah hadist qudsi yang shahih, Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu mencelakai-Ku dan kalian tidak akan mampu memberikan kemanfaatan kepada-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya manusia dan jin dari yang pertama (ada didunia) sampai yang terahir semuanya (keadaannya seperti) orang yang paling bertaqwa hatinya diantara kalian, maka hal itu tidak menambah kekuasaan-Ku sedikitpun, dan (sebaliknya) seandainya manusia dan jin dari yang pertama (ada didunia) sampai yang terahir semuanya (keadaannya sepeti) orang yang paling buruk hatinya diantara kalian, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun…”(HSR Muslim, no. 2577).

3.    Nama Allah ‘azza wa jalla “”al-‘Aziz” (yang maha perkasa) dan “ar-Rahim” (yang maha penyayang).
Kedua nama ini disebutkan berulang kali dalam surah asy-Syu’ara/26 di ahir ayat-ayat yang menceritakan kisah-kisah para nabi dan Rasul ahallallahu ‘alaihi wa sallam beserta umat yang mendustakan seruan dakwah mereka. Misalnya dalam ayat ke-9, 68, 104, 122 dan 140 Allah ‘azza wa jalla berfirman :

“Dan sesungguhnya Rabb-mu (Allah) benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”.

Masing-masing dari kedua nama Allah ‘azza wa jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat maha perkasa adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat maha penyayang adalah sifat kesempurnaan.

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa semua yang Allah ‘azza wa jalla berlakukan kepada para Nabi-Nya ‘azza wa jalla berupa pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh mereka, keteguhan iman dan ketinggian derajat mereka adalah bukti dari sifat rahmat (maha penyayang) Allah ‘azza wa jalla yang dikhususkan-Nya kepada para Nabi-Nya. Dialah yang menjaga, melindungi dan menolong mereka dari tipu daya musuh-musuh mereka. Sebaliknya, semua yang diberlakukan-Nya kepada musuh-musuh para Nabi-Nya ‘azza wa jalla berupa pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh mereka, keteguhan iman dan ketinggian derajat mereka adalah bukti dari sifat Rahmat (maha penyayang) Allah ‘azza wa jalla yang dilimpahkan dan dikhususkan-Nya kepada para Nabi-Nya. Dialah yang menjaga, melindungi dan menolong mereka dari tipu daya musuh-musuh mereka. Sebaliknya, semua yang diberlakukan-Nya kepada musuh-musuh para Nabi-Nya ‘azza wa jalla berupa siksaan dan kebinasaan merupakan bukti sifat Maha Perkasa-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala menolong para Rasul-Nya ‘azza wa jalla dengan rahmatnya dan membinasakan musuh-musuh mereka dengan keperkasaan-Nya, sehingga penyebutan kedua nama ini di ayat-ayat pat deiatas sangat sesuai dan tepat (Lihat Fiqhul Asma-Il Husna, Hal. 42).

4.    Nama Allah “al-Gafur” (Yang Maha Pengampun) dan “al-Wadud” (Yang Maha Mencintai).
Kedua nama ini digandengkan dalam firman Allah ‘azza wa jalla, yang artinya :
Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya.”(QS. al-Buruj/85:13-14).

Masing-masing dari kedua nama Allah ‘azza wa jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat Maha Pengampun adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat Maha Mencintai adalah sifat kesmpurnaan. 

Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa Allah ‘azza wa jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang selalu bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya. Maka perbuatan dosa yang mereka lakukan tidaklah menghalangi mereka untuk meraih kecintaan Allah ‘azza wa jalla selama mereka bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan kembali kepada-Nya.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, yaitu bahwa Allah mencintai para hamban-Nya yang bertaubat dan Dia mencintai hamba-Nya setelah (mendapat) pengampunan-Nya. Maka Allah mengampuninya kemudian mencintainya, sebagaimana dalam firman-Nya, yang artinya :
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri” (QS. al-Baqarah/2:222).
Maka orang yang bertaubat adalah kekasih Allah (Kitab Raudhatul Muhibbin, Hal.47).

Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, dimana Allah menggandengkan (nama-Nya) al-Wadud (yang maha mencintai) dengan (nama-Nya) al-Ghofur (yang maha pengampun). Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berbuat dosa, jika mereka (sungguh-sungguh) bertaubat dan kembali kepada Allah, maka Dia akan mengampuni dosa-dosa mereka dan mencintai mereka. Maka tidak (benar jika) dikatakan bahwa dosa-dosa mereka diampuni akan tetapi kecintaan Allah tidak akan mereka raih kembali.” (Kitab Taisirul Karimir Rahman, Hal. 918).

Catatan dan Faidah Penting
Diantara nama-nama Allah ‘azza wa jalla yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang selalu disebutkan bergandengan satu sama lain, maka kedua nama ini tidak boleh disebutkan  secara terpisah, karena kedua nama ini hanya mengandung pujian dan sanjungan bagi Alla ‘azza wa jalla jika digandengkan dan tidak dipisahkan. Misalnya, “al-Qobidh al-Basith” (yang maha menyempitkan dan melapangkan rizki bagi hamba-hamba-Nya) (Kedua nama ini disebutkan dalam HR. Abu Dawud no.3451, at-Tirmidzi no. 1314, dan Ibnu Majah no.2200, dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan Syaikh al-Albani) dan “al-Muqaddim al-Muakhkhir” (yang maha mendahulukan dan mengakhirkan).

Oleh karena itu, kedua nama ini meskipun secara makna adalah terdiri dari dua nama, karena masing-masingnya membawa makna yang berbeda dengan yang lain, akan tetapi kedudukannya seperti satu nama, karena tidak boleh disbutkan kecuali bergandengan satu sama lain, agar menunjukkan kesempurnaan dan pujian bagi Allah ‘azza wa jalla. (Lihat Kitab Fiqhul Asma-il Husna (hal. 280) dan al-Mujalla fi Syarhil Qawa’idil Mutsla Hal. 160).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Diantara nama-nama Allah ‘azza wa jalla yang tidak boleh disebutkan secara terpisah, tapi (harus) digandengkan dengan (nama Allah lain) yang merupakan kebalikannya, seperti al Mani’ (yang maha mencegah/tidak memberi), ad-Dhar (yang maha mendatangkan bahaya) dan al-Muntaqim (yang maha membalas dendam dan memberi siksaan). Nama-nama ini tidak boleh dipisahkan dari (nama-nama Allah ‘azza wa jalla) yang merupakan kebalikkannya, karena nama-nama tersebut bergandengan dengan nama-Nya al-Mu’thi (yang maha memberi), an-Nafi’ (yang maha memberi manfaat), dan al-‘Afuw (yang maha pemaf). Maka Dialah “yang Maha Memberi lagi Maha Mencegah atau tidak memberi”, “Yang Maha memberi Manfaat lagi Maha Mendatangkan Bahaya”, “yang Maha Memberi Siksaan lagi Maha Pemaaf” dan “yang Maha Memuliakan dan Maha Menghinakan”.

Kemahasempurnaan (bagi Allah ‘azza wa jalla) adalah dengan menggandengkan nama-nama ini dengan (nama-nama Allah ‘azza wa jalla lainnya) yang merupakan kebalikannya, karena ini berarti bahwa Allah Maha Tunggal atau Esa dalam sifat rububiyah-Nya, mengatur (urusan) makhluknya dan memberlakukan pada meraka (apa yang dikehendaki-Nya) dalam memberi, mencegah, memberi menfaat, mendatangkan bahaya, memaafkan dan memberi siksaan.

Adapun memuji Allah ‘azza wa jalla dengan hanya (menyebutkan) yang Maha Mencegah atau tidak Memberi, Maha membalas dendam atau memberi siksaan dan maha mendatangkan bahaya maka ini tidak diperbolehkan.

Inilah nama-nama Allah ‘azza wa jalla yang selalu bergandengan satu sama lainnya, kedudukannya seperti satu nama yang tidak boleh dipisahkan huruf-hurufnya satu dari yang lain. Meskipun nama-nama ini lebih dari satu tapi kedudukannya seperti satu nama. Oleh karena itu, nama-nama ini tidak pernah disebutkan dan dimutlakkan kecuali bergandengan (satu sama lainnya), maka fahamilah ini! (Kitab Bada-I’ ul Fawaid 1/17).

Penutup
Demikianlah pemaparan ringkas tentang “kesempurnaan diatas kesempurnaan” dalam nama-nama dan sifat-sifat Alla ‘azza wa jalla. Meskipun kita beriman secara pasti bahwa keindahan dan kesempurnaan dalam kandungan nama-nama dan sifat-sifatnya tidak terbatas dan melebihi dari semua keindahan dan kesempurnaan yang mampu digambarkan oleh akal pikiran manusia.

Benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengungkapkan keindahan dan kesempurnaan yang tanpa batas ini dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang populer,
Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu” (HSR. Muslim, no. 486).

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan kita untuk memahami dengan benar keindahan dan kesempurnaan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang dengan itu kita bisa mencintai-Nya dan menyempurnakan penghambaan diri kita kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa.

Sumber : Majalah As Sunnah Edisi 10 Tahun XV.


0 komentar: