KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH
Dr Abdullah
bin Muhammad Ath-Thayyar
Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau
bersabda:
“Tidak ada amalan yang lebih utama dari
amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau
menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan
hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatupun.’” [1]
Dengan
demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari
dunia terbaik
secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak
berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari
lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut
memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan
syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]
Dalam
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:
1. Haji dan
umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba
kepada Rabb-nya.
2. Puasa sembilan hari pertama dan khususnya
hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“Puasa hari
‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu
tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]
3.
Takbir dan
dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:
“Dan supaya
mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]
4.
Disyari’atkan
pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah
sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan
sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.
5. Sebagaimana
juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat
melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal
hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya.
6. Disyari’atkan
juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah,
berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan
meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.
Ibnu Qudamah
rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah
kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan
agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4]
MAKSUD DARI
HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA'LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG
BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA'DUUDAAT)
Allah
berfirman:
“Dan
berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang.
Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak
ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya
dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan
kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]
Dan Allah
Ta’ala berfirman:
“Supaya
mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut
Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan
(sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.”
[al-Hajj/22: 28]
Para ulama
berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang hari-hari
yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah:
1.
Hari-hari
yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan perbedaan di antara mereka
apakah itu tiga hari ataukah empat hari.
2. Hari-hari
yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal
bulan sampai hari raya.
3.
Hari-hari
berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
4. Hari-hari
yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq,
berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga belas.
5. Hari-hari
yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari
berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id.
Ada juga
pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh
hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari
penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.
Yang benar
bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan
Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.
Ibnul ‘Arabi
rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar
jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan
adalah hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).” [5]
Sedangkan
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan
adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia adalah sepuluh hari
pertama Dzulhijjah.” [6]
Ibnu Katsir
rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa
hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang
ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” [7]
Ibnu Hajar
rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir [9]
telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah ini dan semuanya hampir
tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas. Wallahu a’laam.
PERBANDINGAN
ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN
DZULHIJJAH
Hendaklah
seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara perkara-perkara baik tidak
bermaksud merendahkan dari yang lebih utama, bahkan hal ini seharusnya menjadi
pendorong untuk melipatgandakan amalan pada hal yang diutamakan dan mengambil
keutamaannya sekuat dan semampunya.
Para ulama
telah membahas masalah ini dan yang rajih menurut saya -wallaahu a’lam- bahwa
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir
Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam
pertama bulan Dzulhijjah, itu karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat
dari adanya malam Qadar dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama
bulan Dzulhijjah diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari
penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).
Syaikhul
Islam pernah ditanya tentang perbandingan antara dua waktu tersebut, beliau
menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari
terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama dari
malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Ibnul Qayyim
rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi cendikia merenungkan
jawaban ini, tentulah ia mendapatinya sebagai jawaban yang cukup dan
memuaskan.” [10]
PERBANDINGAN
ANTARA DUA HARI RAYA
Para ulama
telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang mengutamakan ‘Idul Adh-ha
atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya. Setelah memaparkan keutamaan dua
hari raya dan keduanya termasuk hari paling utama dalam setahun, maka yang
rajih adalah ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam
‘Idul Adh-ha adalah sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul
Fithri adalah shadaqah dengan shalat. Padahal jelas sembelihan kurban lebih
utama dari shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah badan
(fisik) dan harta. Kurban adalah ibadah fisik dan harta, sedangkan shadaqah dan
hadyah hanyalah ibadah harta saja.
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul
Fithri, karena dua hal:
1. Ibadah di
hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri
yaitu shadaqah.
2. Shadaqah di
hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan untuk membersihkan orang
yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan dan memberi makan orang miskin
serta disunnahkan dikeluarkan sebelum shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di
hari-hari tersebut sebagai ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan
setelah shalat.
Allah
-Ta’ala- berfirman tentang yang pertama:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat Nama
Rabb-nya, lalu dia shalat.” [Al-A’laa: 14-15]
Dan tentang
yang kedua:
“Maka
dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]
Kemudian
Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga shalatnya orang-orang di
negeri-negerinya sama kedudukannya dengan jama’ah haji yang melempar jumrah
al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan
sembelihan hadyu jama’ah haji.” [11]
[Disalin
dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran
Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar,
Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim
(II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul
‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan
Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).
0 komentar: