Hukum Wasilah Tergantung Pada Tujuan-Tujuannya
Termasuk pula dalam kaidah ini, usaha seseorang dalam
bekerja yang menjadi wasilah (sarana) baginya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dirinya sendiri, istri, anak-anak, budak, dan juga binatang
ternaknya, serta untuk melunasi hutangnya. Dikarenakan hal-hal tersebut
hukumnya adalah wajib, dan tidak bisa dipenuhi kecuali dengan mencari rizki dan
berusaha mendapatkannya.
Demikian pula, tentang wajibnya mempelajari tanda-tanda
datangnya waktu shalat, mengetahui arah kiblat, dan arah mata angin bagi orang
yang membutuhkan hal tersebut. Hal-hal tersebut masuk juga dalam kaidah ini.
Termasuk pula dalam kaidah ini, setiap perkara mubah yang
menjadi wasilah untuk meninggalkan kewajiban, atau menjadi wasilah dalam
melaksanakan sesuatu yang haram. Oleh karena itu, diharamkan jual beli setelah
adzan kedua pada shalat Jum’at, berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan
tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumu’ah : 9).
Demikian pula diharamkan menjual sesuatu kepada orang
yang akan menggunakannya untuk kemaksiatan. Seperti menjual anggur kepada orang
yang akan membuatnya menjadi minuman keras. Atau menual senjata kepada orang
dalam kondisi fitnah, atau menjualnya kepada musuh dan perampok. Dan juga tidak
diperolehkan menjual telur atau semisalnya kepada orang yang akan
menggunakannya dalam berjudi.
Termasuk dalam kaidah ini pula, adalah perbuatan
seseorang yang diberi wasiat oleh orang lain, kemudian ia membunuh orang yang
memberi wasiat tersebut. Atau pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris
terhadap pemilik harat1 supaya segera memperoleh warisan tersebut. Maka
keduanya dikenai hukuman dengan tidak berhak memperoleh isi wasiat atau warisan
yang menjadi tujuannya tersebut.
Demikian pula seorang suami yang menindas isteri tanpa
alasan yang dibenarkan, agar istri menyerahkan kekayaannya kepada suami hingga
mau menceraikannya.
Begitu pula, hiyal (tipu muslihat) yag ditempuh
sebagai wasilah untuk melaksanakan perkara yang haram atau meninggalkan
kewajiban, makahukumnya adalah haram. Sedangkan hiyal yang dipergunakan untuk
memperoleh sesuatu yang menjadi hak seseorang hukumnya diperbolehkan bahakan
diperintahkan. Hal ini dikarenakan seorang hamba diperintahkan untuk mengambil
sesuatu yang sudah menjadi hak nya dan hak-hak lain yang berkaitan dengannya,
baik dengan cara yang terang-terangan mupun tersembunyi.
Hal ini merujuk firman Allah subhanahu wa ta’ala
tatkala menyebutkan muslihat yang dilakukan Nabi Yusuf ‘alaihissalam supaya
saudaranya tetap tinggal bersamanya:
“Demikain Kami atur untuk (mencapai maksut) Yusuf”
(QS. Yusuf:76).
Sama dalam masalah ini tipu daya untuk menyelamatkan jiwa
dan kekayaan, sebagaimana yang dilakukan Khidhir dengan cara merusak perahu
yang ia tumpangi supaya perahu tersebut tidak dirampas oleh raja yang dzalim
yang merampas setiap perahu bagus yang ia lihat.
Oleh karena itu, hukum suatu muslihat mengikuti tujuan
peruntukan muslihat tersebut, apakah tujuan ny baik ataukah tidak.
Termasuk pula dalam kaidah ini, adalah firman Allah (yang
artinya) : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya.... (Qs. An-Nisa’/4:58).
Sedangkan yang dimaksud dengan amanat, adalah segala
sesuatu yang seseorang mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya, seperti
barang titipan, mengurus anak yatim,menjadi nadzir wakaf, dan semisalnya. Maka
termasuk dalam upaya untuk menjalankan amanat kepada pemiliknya, adalah menjaga
amanat tersebut dengan ditempatkan di tempat penyimpanan yang sesuai.
Dan termasuk upaya menjaga amanat tersebut, adalah
memberikan makanan dan lainnya jika yang diamanatkan tersebut bernyawa. Adapun
dalam penggunaannya, tidak teledor dan tidak berlebih-lebihan.
Di antara cabang kaidah ini, adalah bahwasanya Allah subhanahu
wa ta’ala mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, dan melarang mendekat
kepada semua wasilah yang dikhawatirkan akan menjerumuskan seseorang
pada perkara yang diharamkan tersebut. Misal, menyendiri dengan wanita yang
bukan mahramnya, atau melihat kepada sesuatu yang diharamkan.
Atas dasar itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
Dan barang siapa yang jatuh pada perkara yang samar, maka
ia telah terjatuh pada perkara yang haram. Seperti penggembala yang menggembala
di sekitar daerah larangan; dikhawatirkan ia akan masuk ke daerah larangan itu.
Ingatlah, setiap raja memiliki daerah larangan; dan daerah larangan Allah
adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. (HR Bukhari).2
Termasuk cabang kaidah ini pula, adalah adanya larangan
mengerjakan sesuatu yang bisa menimbulakan permusuhan dan kebencian. Misalnya,
menyerobot pembeli dari penjual muslim lainnya, menimpali akad orang lain,
melamar wanita yang sudah dilamar orang lain, atau mengajukan perwalian atas
pengajuan muslim lain.
Sebagaimana termasuk cabang kaidah ini pula, adalah
memberikan dorongan untuk komitmen dengan kejujuran, baik dalam perkataan
maupun perbuatan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Pengecualian dalam kaidah ini
Adapun perkara yang tidak masuk dalam kaidah ini adalah
permasalah nadzar. Hal ini di karenakan suatu hikmah tertetu yang khusus pada
permasalahan tersebut. Sebab, menunaikan nadzar ketaatan hukumnya adalah wajib,
sedangkan bernadzar hukumnya adalah makruh. Padahal menunaikan nadzar tidaklah
bisa dilaksanakan kecuali dengan menetapkan nadzar.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
agar nadzar dilaksanakan dan melarang orang untuk bernadzar. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
“Sesungguhnya nadzar itu tidaklah mendatangkan
kebaikan, dan sesungguhnya dengan sebab nadzar itu dikeluarkan (shadaqoh, dsb)
dari seorang yang bakhil”. (HR. Bukhori)3
Keadaan demikian ini karena mengurangi keikhlasan dalam
amalan yang di nadzarkan tersebut, dan menyebabkan orang yang mengikat nadzar
terjebak pada kesulitan padahal awalnya ia berada dalam kelapangan. Wallahu
a’lam.
Sumber : Al-Qowa’id wal-Ushul al-Jami’ah
wal-Furuq wat-Taqosim al-Badi’ah an-Nafi’ah, Karya Syaikh
Abdurrahman as-Sa’di, Tahqiq DR. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaikih,
Darul Wathan, Cetakan II, Tahun 1422H – 2001M.
Disalin dari : Majalah As Sunnah Edisi 03 Tahun
XII.
Jual Playpad Anak |
0 komentar: