Linangan Air Mata Menuju Baitullah
[Kisah Motivatif, Ditulis dengan Tinta Air Mata]
Adalah Syaikh Utsman Dabu –semoga Allah merahmati beliau-
berasal dari Republik Gambia, ujung Barat Afrika. Beliau tinggal di rumah
sederhana pada suatu desa kecil dekat ibukota Banjul.
Syaikh Utsman menceritakan perjalanannya bersama empat
kawannya lima puluh tahun yang lalu ketika menuju Baitullah dengan berjalan
kaki dari Banjul menuju Makkah. Mereka berlima meretas benua Afrika dari Barat
hingga Timur tanpa berkendaraan, kecuali pada waktu-waktu singkat yang mereka
mengendarai hewan hingga mereka tiba di Laut Merah guna menyeberang menuju
Jeddah.
Suatu perjalanan penuh keajaiban yang berlangsung selama
dua tahun. Kadang mereka singgah di sebagian kota untuk istirahat, bekerja, dan
berbekal, kemudian melanjutkan perjalanan.
Beliau ditanya, “Bukankah haji ke Baitullah diwajibkan
atas orang yang mampu, sedangkan Kalian dalam keadaan tidak memiliki
kemampuan?”
Beliau menjawab, “Benar. Namun, pada suatu hari, Kami
saling berbicara tentang kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalâm ketika beliau berangkat membawa
keluarganya ke lembah yang tidak bertanaman di sisi Baitullah yang terhormat.
Salah seorang di antara Kami berkata, ‘Kita sekarang adalah para pemuda yang
kuat lagi sehat. Oleh karena itu, apakah udzur Kami di sisi Allah jika Kami
kurang dalam menempuh perjalanan ke Baitullah. Apalagi Kami merasa bahwa
hari-hari yang bergulir hanya menambah kelemahan. Maka, untuk apa diakhirkan?’
Kawan itu pun memicu dan memotivasi Kami untuk menempuh perjalanan dengan
mengharapkan pertolongan dari Allah.”
Keluarlah mereka berlima meninggalkan rumah-rumah mereka
dengan perbekalan yang tidak mencukupi lebih dari satu pekan. Di perjalanan
mereka, ada berbagai kesulitan, kesempitan, dan kesesakan yang hanya diketahui
oleh Allah. Betapa banyak malam yang mereka lalui dengan lapar yang hampir
membinasakan mereka. Tak terbilang malam yang mereka harus meninggalkan
kenikmatan tidur lantaran kejaran binatang buas. Sering berulang malam yang
berliput ketakutan akan para penyamun yang menghadang di berbagai lembah.
رُبَّ لَيْلٍ بَكَيْتُ مِنْهُ فَمَا
صِرْتُ فِي غَيْرِهِ بَكَيْتُ عَلَيْهِ
Betapa banyak malam yang telah kutangisi
Tatkala Kupindah ke malam (lain), kembali aku menangisinya
Syaikh Utsman berkata, “Suatu malam, Saya
tersengat oleh (binatang berbisa) di tengah perjalanan. Maka, Saya pun ditimpa
oleh panas hebat dan rasa pedih dahsyat yang membuatku terduduk dan tidak bisa
tidur. Saya telah mecium bau kematian berjalan di urat-uratku,
وَإِنِّي لَأَرْعَى النَّجْمَ حَتَّى
كَأَنَّنِيْ
عَلَى كُلِّ نَجْمٍ فِي السَّمَاءِ
رَقِيبُ
Sungguh Saya terus mencermati bintang-bintang itu, hingga
seakan …
Saya adalah pengawas setiap bintang di langit
Kawan-kawanku pergi bekerja, sementara saya hanya
berteduh di bawah pohon hingga mereka kembali di penghujung siang. Syaithan
terus memberi was-was ke dalam hatiku, “Bukankah seharusnya Engkau tetap
tinggal di negerimu? Mengapa Engkau membebani dirimu dengan hal yang Engkau tak
mampu saja?”
Jiwaku menjadi berat dan hampir Saya melemah hingga
kawan-kawanku datang. Salah seorang di antara mereka melihat ke wajahku dan
bertanya akan keadaanku. Saya pun menoleh kepadanya dan mengusap setetes air
mata yang telah mengalahkanku. Seakan, dia merasakan penderitaanku. Dia
berkata, “Bangunlah. Berwudhulah, kemudian shalatlah. Engkau takkan
mendapatkan, kecuali kebaikan –dengan izin Allah-.
وَاسْتَعِينُوا
بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolong kalian. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu’.” [Al-Baqarah: 45]
Dadaku pun menjadi lapang, dan Allah menghilangkan
kesedihan dariku, Alhamdulillah.
Kerinduan mereka pada dua tanah Haram terus berdendang
mengiringi mereka pada segala keadaan. Pedih perjalanan serta bahaya dan
prahara laluan telah menjadi ringan.
Tiga orang di antara mereka telah meninggal. Yang
terakhir wafat berada di hamparan lautan. Hal menakjubkan dari orang ketiga
yang wafat adalah, dia berpesan kepada kedua kawannya,
“Jika kalian berdua mencapai Masjidil Haram,
beritahukanlah kepada Allah akan kerinduanku berjumpa dengan-Nya. Mintalah
kalian berdua kepada-Nya agar mengumpulkan Saya dan Ibuku bersama Nabi shallallâhu
‘alaihi wa sallam.”
Syaikh Utsman bertutur,
“Tatkala kawan Kami meninggal, Saya tertimpa gundah gulana
hebat dan kesedihan dahsyat. Itulah hal terberat yang Saya jumpai pada
perjalananku. (Kawanku) itu adalah orang yang paling sabar dan kuat di antara
Kami. Saya telah khawatir meninggal sebelum mendapat nikmat mencapai Masjidil
Haram. Saya telah menganggap hari-hari dan saat-saat itu lebih panas daripada
bara api.
إِذَا بَرَقْتَ نَحْوَ الْحِجَازِ سِحَابَةٌ
دَعَا الشَّوْقُ مِنِّي بَرْقَهَا الْمُتَطَامِنُ
Jika awan bergelegar di arah Hijaz
Kerinduan yang damai memanggil petirnya
Begitu Kami tiba di Jeddah, Saya sakit luar biasa. Saya pun
khawatir meninggal sebelum sempat mencapai Makkah. Saya berwasiat kepada
kawanku, ‘Jika Saya meninggal, kafanilah Saya dalam ihramku dan dekatkanlah
Saya sesuai kemampuan ke kota Makkah. Barangkali Allah melipatgandakan pahala
untukku dan menerimaku sebagai orang-orang shalih.’
Kami pun tinggal di Jeddah beberapa hari, kemudian
melanjutkan perjalanan kami ke Makkah. Nafasku berhembus cepat dan kegembiraan
memenuhi wajah. Rasa rindu terus menggoyang dan mendorongku hingga kami tiba di
Masjidil Haram.”
Syaikh Utsman terdiam sesaat. Beliau menyeka
linangan-linangan air matanya yang berderai kemudian bersumpah dengan nama
Allah bahwa dia belum pernah melihat kelezatan dalam hidupnya sebagaimana
kelezatan yang memenuhi seluruh lapisan hatinya tatkala beliau melihat Ka’bah
yang mulia.
Beliau berkisah,
“Tatkala melihat Ka’bah, Saya bersujud syukur
kepada Allah. Saya terus menangis, seperti anak-anak kecil yang menangis,
karena dahsyatnya keagungan dan kharisma (Ka’bah). Betapa mulianya Baitullah
itu dan sungguh penuh keagungan.
Kemudian, Saya mengingat kawan-kawanku yang belum dimudahkan
untuk sampai ke Masjidil Haram. Saya pun memuji Allah Ta’âlâ atas nikmat dan keutamaan-Nya
kepadaku. Selanjutnya, Saya memohon kepada Allah Subhânahu untuk mencatat (kebaikan)
langkah-langkah mereka dan tidak mengharamkan pahala untuk mereka serta
mengumpulkan Kita semua pada kedudukan jujur di sisi Allah Yang Berkuasa Lagi
Maha Mampu.”
[Disadur dengan sedikit meringkas dari Ar-Rafîq Fî Rihlatil Hajj hal. 107-109]
Sumber : Disalin dengan perubahan judul dari : Mana Pengorbananmu, Dzulqarnain.Net
Simak juga cerita inspiratif yang membuat linangan air mata ini,
di bacakan langsung oleh ust Dzulqarnain M. Sunusi pada khutbah Jum’at dengan mendownload audio di link
ini : Merenungi Pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Fanpage Rumah Belanja
Muslim
Akun FB Rumah Belanja
Whyluth
0 komentar: