Oleh :
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.
Salam
berarti memesan saatu barang dengan criteria yang telah disepakati dengan
pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Dengan akad ini kedua pihak
sama-sama diuntungkan.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menulisnya.”
(Al Baqarah : 282)
|
Jual Beli Salam dalam Islam |
Alhamdulillah,
shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan
sahabatnya. Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah, dibolehkannya jual
beli barang dengan cara salam. Salam
berarti memesan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dengan
pembayaran tunai (lunas) pada saat akad dilaksanakan. Dengan akad ini kedua
belah pihak sama-sama diuntungkan. Biasanya pembeli mendapatkan keuntungan
berupa :
Kepastian mendapatkan barang dengan
criteria yang ia inginkan dan pada waktu yang ia tentukan.
Mendapatkan barang dengan harga yang
lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian biasa pada saat ia membutuhkan
barang tersebut.
Adapun
bagi penjual, maka ia mendapat keuntungan yang tidak kalah besar disbanding
keuntungan pembeli, diantaranya :
Penjual mendapatkan suntikan dana
segar untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal. Dengan dana itu
ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
Karena selama belum jatuh tempo, penjual bebas menggunakan uang pembayaran
tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari euntungan sebanyak-banyaknya.
Penjual memiliki keleluasaan dalam
memenuhi permintaan pembeli. Karena biasanya antara waktu transaksi dan waktu
penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Tidak
heran bila akad salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam kepada
para pengusaha terutama produsen agar terbebas dari riba. Dan mungkin ini salah
satu hikmah disebutkannya syaria’at jual beli salam seusai larangan memakan
riba. Allah ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermuamalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menulisnya.”
(Al Baqarah : 282)
Sahabat
ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata
: “Saya bersaksi bahwa jual beli As Salaf (Salam) yang terjamin hingga tempo
yang ditentukan dihalalkan dan di izinkan Allah dalam al-Qur’an. Allah ta’ala
bermfirman (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya. “Riwayat As Syarfi’I, At Thobary, Abdurazzaq, Ibnu abi Syaibah, Al
Hakim dan Al Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albany.
Akhir
ayat tersebut menguatkan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu diatas
:
“Janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah
mu’amalah itu) kecuali bila mu’amalah itu berupa perdagangan tunai yang kamu
jalankan diantara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak menulisnya.” (al
Baqarah : 282).
Cermatilah
bagaimana pada akhir ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan hukum persaksian pada
perniagaan tunai. Ini cukup sebagai bukti bahwa maksut dari kata berhutang pada
awal ayat ialah berjual beli dengan cara tidak tunai, bukan sekedar piutang
biasa.
Diantara
dalil disyari’atkannya salam ialah hadits berikut : “Dari sahabat Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba
dikota Madinah, didapatkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma
dalam tempo waktu dua dan tiga tahun. Menanggapi fakta ini beliau bersabda: “Barang siapa memesan sesuatu, maka
hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah
pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.”
(Muttafaqun ‘alaih).
Berdasarkan
dalil diatas dan juga lainnya, para ulama menyepakati tentang disyarai’atkannya
jual beli salam.
Untuk
mengenal akad salam lebih jauh, saya mengajak anda untuk mencermati
beberapapersyaratannya yang harus anda indahkan. Persyaratan-persyaratan
tersebut bertujuan menjaga terwujudnya hikmah dari disyarai’atkannya salam. Sebagaimana
berfungsi menjauhkan unsur riba dan gharar (untung-untungan).
Pertama: Pembayaran Dilakukan Di Muka
(Kontan)
As salam berarti penyerahan, sedangkan As Salaf, berarti mendahulukan. Berdasarkan
arti dasark kedua kata ini, para ulama’ menyepakati bahwa pembayaran pada akad
as salam harus dilakukan secara tunai dimuka, tanpa ada sedikitpun yang
dihutang atau ditunda.
Dengan
demikian tidak dibenarkan menunda pembayaran atau sebagainya. Hal ini
berdasarkan hadist berikut :
“Dari sahabat Ibu Umar radhiallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli piutang dengan
piutang.” (Riwayat Ad
Daraquthny, Al Hakim, dan Al Baihaqy dan hadist ini dinyatakan lemah oleh
banyak ulama’, diantaranya imam as Syafi’I, Ahmad, dan disetujui oleh al
Albany). Walau demikian halnya, banyak ulama yang menyatakan bahwa kesepakatan
ulama’ telah bulat untuk melarang jual beli piutang dengan piutang.
Imam
Ahmad bin Hambal berkata : “Tidak ada
satu hadistpun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan
piutang, pen), akan tetapi kesepakatan ulama’ telah bulat bahwa tidak boleh
memperjual belikan piutang dengan piutang.”
Ungkapan
senada juga diutarakan oleh Ibnul Mundzir1. Ibnul Qoyyim berkata :
“Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan.
Bila pembayaran ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa
ada faedah yang didapat. Inilah alasan dari penamaan akad ini dengan as salam;
dikarenakan adanya penyerahan uang pembayaran dimuka. Sehingga bila pembayaran
ditunda, maka termasuk dalam penjualan piutang dengan piutang. Bahkan itulah
penjualan piutang dengan piutang yang sejati. Praktik semacam ini berisiko
tinggi, dan termasuk praktek untung-untungan.”2
Kedua : Obyek Salam Adalah Komoditi
yang Memiliki Kriteria Jelas.
Karena
obyek Salam adalah barang pesanan, maka sudah barang tentu penentuannya
dilakukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk
menutup peluang terjadinya persengketaan antara penjual dan pembeli dikemudian
hari, yaitu ketika telah jatuh tempo.
Dengan
demikian, barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, misalnya
intan, maka tidak boleh diperjual belikan dengan cara Salam. Salam pada komoditi
semacam ini termasuk ghoror (untung-untungan) dan itu nyata-nyata dilarang
dalam hadits berikut :
“Bahwasannya Nabi melarang jual beli
untung-untungan.”
(Riwayat Muslim).
Ketiga : Menyepakati Kriteria Barang
Yang Diinginkan.
Dari penjelasan
diatas, dapat dipahami bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiaban
untuk menyepakati criteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksut disini
ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah
barang, serta setiap criteria yang diinginkan dan mempengaruhi harga jual
barang.
Sebagai
contoh bila A hendak memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk
menyebutkan, jenis beras, tahun panen, mutu beras, serta jumlah barang. Masing-masing
criteria ini nyata-nyata mempengaruhi harga jual beras. Persyaratan ini oleh
karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang
siapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam takaran yang telah
diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh
kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)
Setelah
criteria baranng yang diperlukan telah disepakati, maka kelak ketika telah
jatuh tempo, ada beberapa kemungkinan yang terjadi:
Kemungkinan Pertama : penjual berhasil mendatangkan barang
sesuai criteria yang disepakati. Pada keadaan semacam ini, pembeli harus
menerimanya, dan tidak berhak untuk membatalkan akad penjualan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kaum
muslimin berkewajiaban memenuhi persyaratan mereka.” (Riwayat Ahmad, Al Baihaqy dan
lainnya, dan hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albany).
Kemungkinan Kedua : penjual hanya berhasil mendatangkan
barang dengan criteria lebih rendah. Pada kondisi semacam ini pembeli berhak
untuk membatalkan pesanannya dan menarik kembali uang pembayaran yang telah ia
bayarkan kepada penjual. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk menunda atau
membuat perjanjian baru dengan penjual, baik yang berkenaan dengan criteria
barang atau harga barang dan hal lain yang terkait.
Walau demikian tidak ada salahnya ia
menerima barang yang telah didatangkan oleh penjual, walaupun kriterianya lebih
rendah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Semoga
Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia
menjual, ketika membeli, dan ketika menagih.” (Riwayat Bukari)
Dan bila hal ini berat baginya, maka
ia tetap saja dianjurkan bersikap terhormat, dengan menjaga ahlaq karimah, dan
tidak hanyut dalam amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa
yang menagih haknya, hendaknya ia menagihnya dengan cara yang terhormat, baik
ia berhasil mendapatkannya atau tidak.” (Riwayat at Tirmidzi, Ibu Majjah, dan Al Hakim)
Kemungkinan Ketiga : penjual mendatangkan barang yang lebih
bagus dari yang dipesan dengan tanpa meminta tambah biaya. Maka para ulama’
berselisih pendapat, apakah pemesan berkewajiban untuk menerimanya atau tidak?
Pada kondisi semacam ini banyak ulama’ yang menyatakan:3
Pemesan berhak untuk menolak barang
yang didatangkan oleh penjual. Terutama bila ia menduga bila suatu saat penjual
akan menyakiti perasaannya, dengan mengungkit-uangkit kejadian tersebut
dihadapan orang lain. Akan tetapi bila ia yakin bahwa penjual tidak akan
melakukan hal itu, maka ia wajib untuk menerima barang tersebut. Hal ini karena
penjual telah berbuat baik, dan setiap orang yang berbuat baik tidak layak
untuk dicela atau disusahkan. “Tiada
jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.”
(At-Taubah : 91).
Keempat : Penentuan
Tempo Penyerahan Barang Pesanan.
Diantara hal prinsip dalam akad salam ialah kedua belah
pihak menyepakati tempo pengadaan barang pesanan. Menurut mazhab As Syafi’I
adanya tempo dalam akad salam bukanlah persyaratan yang baku. Menurut mereka
pemesan dibenarkan untuk memesan barang dengan tenggang waktu yang pendek dan
tidak mempengaruhi harga jual barang.
Mereka beralasan bahwa : bila pemesanan barang dalam
tempo waktu yang cukup lama dibenarkan, padahal dimungkinkan penjual tidak
berhasil memenuhi pesanan, maka pesanan dalam tempo waktu yang singkat lebih
layak untuk dibenarkan.4
Pendapat mazhab Syafi’I ini lebih kuat disbanding
pendapat kebanyakan ulama; yang mensyaratkan adanya tempo waktu yang
mempengaruhi harga jual barang. Hal ini dikarenakan hukum asal setiap
perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata Allah haramkan. Sedangkan
pada permasalahan kita ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang
akad salam dengan tenggang waktu singkat. Setelah persyaratan tempo pengadaan
barang ini disepakati oleh kedua belah pihak, maka pada saat jatuh tempo, ada
tiga kemungkinan:
Kemungkinan Pertama : Pedagang
berhasil mendatangkan barang pesanan pada tempo yang disepakati, maka pada
keadaan ini, pemesan berkewajiban untuk menerimanya.
Kemungkinan kedua : Pedagang tidak
dapat mendatangkan barang pesanan, maka pemesan berhak menarik kembali uangnya
atau memperbaharui perjanjian.5
Kemungkinan Ketiga : Pedagang
mendatangkan barang sebelum tempo yang disepakati. Pada kondisi semacam ini,
bila pemesan tidak memiliki alasan untuk menolak barang yang ia pesan, maka ia
wajib untuk menerimanya. Hal ini karena pedagang telah berbuat baik, yaitu
dengan menyegerakan pesanan. Adapun bila pemesan memiliki alasan yang
dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah
disepakati, maka ia dibenarkan untuk menolaknya. Hal ini berdasarkan haits
berikut : “Tidak ada kemadhorotan atau
pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan.” (Riwayat
Ahmad, Ibu Majjah dan dinyatakan hasan oleh al Albany).
Sebagai contoh, anda memesan keranjang parsel yang
diserahkan pada bulan ramadhan. Dan sudah barang tentu harga jual keranjang
parsel pada saat itu tinggi, karena mendekati Lebaran Idul Fitri, berbeda pada
bulan-bulan sebelumnya. Pada kondisi ini, pemesan dibenarkan untuk tidak
menerima pesanannya pada bulan Rabiul Awwal kecuali pada tempo yang telah
disepakati.
Kelima : Pedagang
Penerima Pesanan Tidah Harus Pemilik/Produsen Barang.
Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa pedagang yang dibenarkan
untuk menjalankan akad salam ialah pedagang yang memiliki atau penghasil barang
saja. Ketahuilah saudaraku, anggapan ini tidak benar. Oleh karena itu, dahulu
para sahabat tidak pernah bertanya kepada para pedagang penerima pesanan
mereka: apakah mereka pemilik atau penghasil barang pesanannya atau tidak. Muhammad
bin Abil Mujalid mengisahkan :
“Pada
suatu hari aku diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya
kepada sahabat Abdullah bin Aufa radhiallahu ‘anhu. Mereka berdua berpesan:
bertanyalah kepadanya, apakah dahulu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memesan gandum dengan
pembayaran lunas dimuka? Sahabat Abdullah menjawab: Dahulu kami memesan dari
para pedagang negeri Syam; gandum, sya’ir (satu jenis gandum dengan mutu
rendah), dan minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang disepakati.
Muhammad bin Abil Mujalid kembali bertanya: Apakah kalian memesan langsung dari
para pemilik ladang? Abdullah bin Aufa kembali menjawab: Kami tidak pernah
bertanya kepada mereka, tentang hal itu.” (Riwayat Al Bukhari)
Berdasarkan praktik akad salam yang dilakukan oleh para
sahabat, maka dibenarkan menjalin akad dengan pedagang, walaupun mereka bukan
produsen, perajin maupun penghasil barang.
Penutup
Demikian gambaran singkat tentang akad salam yang
merupakan solusi tepat bagi umat Islam dalam berbagai perniagaan yang mereka
jalankan dimasa ini. Sejatinya masih banyak permasalahan seputar akad salam
yang dipaparkan oleh para ulama’ dalam kitab-kitab fiqih mereka. Hanya saja,
karena keterbatasan ruang, saya sarikan point-point terpetning dan fital dalam
akad ini. Semoga pemaparan singkat ini bermanfaat bagi anda, wallahu Ta’ala a’alam.
Catatan
:
1. Silahkan baca At Talkhisu Al Habir oleh Ibnu Hajar Al
Asqalany 3/406 dan Irwa’ul Ghalil oleh al Albani 5/220-222.
2. I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qoyyim 2/20.
3. Al ‘Aziz oleh Ar Rafi’i 4/425, Al Mughni oleh Ibnu
Qudamah 6/421, Mughni Al Muhtaj oleh As Syarbini 2/115, dan As Syarah Al Mumti’
oleh Syaikh Ibnu Utsaimin 9/69.
4. Baca Al ‘Aziz oleh Ar Rafi’I 4/396, dan Mughnil Muhtaj
oleh As Syarbiny 2/105.
5. Baca Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/407.
Sumber : Majalah Pengusaha Muslim Edisi 10. Volume 1
1 komentar: