Jual Parfum Al Rehab

Jual Parfum Al Rehab
Parfum al rehab merupakan salah satu Parfum Non Alkohol buatan Jeddah Saudi Arabia. Parfum ini memiliki banyak aroma wangi. Wanginya banyak di suka muslim dan muslimah di negeri kita.

Diantaranya aroma Parfum Al Rehab yang banyak di cari ada Aroma Soft, Al Rehab Silver, Al Rehab Lovely, Al Rehab Dallal, Al Rehab Rasha, Zahrat Hawaii, Tooty Musk, Al Fares, White Musk dan lain-lain.

Diantara kelebihan Parfum Al Rehab ini adalah aroma wanginya yang semerbak tahan lama. Kadang ketika pakai parfum cukup banyak di pakaian, setelah di cucipun masih tersisa aroma wangi parfum arab ini.

Macam-macam wangi yang kami sediakan dari Parfum Al Rehab saat ini adalah wangi-wangi yang lembut, kalem, dan yang banyak di suka masyarakat kita. Wangi parfum ini cocok untuk kaum wanita (untuk dirumah), dan juga untuk laki-laki.

Parfum Al Rehab Lovely
Parfum Al Rehab Lovely
Parfum Al Rehab Lovely 6 ml
Parfum Al Rehab yang kami sediakan untuk saat ini adalah dalam bentuk Roll On dengan Volume 6 ml.

Kelebihan Parfum Al Rehab ini, selain Wanginya yang Tahan Lama, juga dalam penggunaannya bisa irit, Karena sedikit saja Parfum Al Rehab ini di oles - oleskan di tangan dan kemudia di ratakan di baju ataupun tangan sudah terasa aroma wanginya.

Selain itu Parfum Al Rehab ini juga dari segi harga merupakan Parfum Non Alkohol Yang Murah. Karena dengan Harga Rp. 23.000 anda sudah dapat membelinya.

Karena Parfum Al Rehab ini merupakan Parfum Non Alkohol, maka untuk anda yang ingin mendapatkan kenyamanan Ibadah, dan memperindah diri dengan wangi-wangian kemasjid akan lebih Tenang memakainya.

Parfum Al Rehab Soft
Parfum Al Rehab Soft
Parfum Al Rehab Soft 6 ml
Untuk mendapatkan produk Parfum Al Rehab ini dengan berbagai Aroma Parfum yang tersedia, silahkan hubungi kami melalui WA di 0817 0414 024.

Berikut beberapa aroma parfum al rehab yang kami sediakan,

Aroma Parfum Al Rehab

Parfum Al Rehab Thoty Musk
Parfum Al Rehab Thoty Musk
Parfum Al Rehab Rasha
Parfum Al Rehab Rasha
Parfum Al Rehab Lovely
Parfum Al Rehab Lovely
Parfum Al Rehab Soft
Parfum Al Rehab Soft
Parfum Al Rehab Silver
Parfum Al Rehab Silver

www.RumahBelanjaMuslim.Com

1 komentar:

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH


Oleh
Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayyar

Imam al-Bukhari dalam shahiihnya meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: 

“Tidak ada amalan yang lebih utama dari amalan di sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini. Mereka bertanya, ‘Tidak juga jihad?’ Beliau menjawab, ‘Tidak juga jihad, kecuali seorang yang keluar menerjang bahaya dengan dirinya dan hartanya sehingga tidak kembali membawa sesuatupun.’” [1]

Dengan demikian, jelaslah bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari dunia terbaik secara mutlak. Hal itu karena ibadah induk berkumpul padanya dan tidak berkumpul pada selainnya. Padanya terdapat seluruh ibadah yang ada di hari lain, seperti shalat, puasa, shadaqah dan dzikir, namun hari-hari tersebut memiliki keistimewan yang tidak dimiliki hari-hari lain yaitu manasik haji dan syari’at berkur-ban pada hari ‘Id (hari raya) dan hari-hari Tasyriq.

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Yang rajih bahwa sebab keistimewaan bulan Dzulhijjah karena ia menjadi tempat berkumpulnya ibadah-ibadah induk, yaitu shalat, puasa, shadaqah dan haji. Hal ini tidak ada di bulan lainnya. Berdasarkan hal ini apakah keutamaan tersebut khusus kepada orang yang berhaji atau kepada orang umum? Ada kemungkinan di dalamnya. [2]

Dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terdapat amalan berikut ini:

1.  Haji dan umrah. Keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Rabb-nya.

2.  Puasa sembilan hari pertama dan khususnya hari kesembilan yang termasuk amalan-amalan terbaik. Cukuplah dalam hal ini sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam 

Puasa hari ‘Arafah yang mengharapkan pahala dari Allah dapat menghapus dosa-dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang.” [3]

3.    Takbir dan dzikir di hari-hari ini diijabahi (dikabulkan) berdasarkan firman Allah:

Dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan” [Al Hajj/22: 28]

4.    Disyari’atkan pada hari ini menyembelih kurban dari hari raya dan hari Tasyriq. Ini adalah sunnah Bapak kita, Ibrahim ketika Allah mengganti anaknya, Isma’il dengan hewan sembelihan yang besar dan juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyembelih dua kambing gemuk lagi bertanduk untuk diri dan umatnya.

5.  Sebagaimana juga disyari’atkan pada hari raya kepada seorang muslim untuk bersemangat melaksanakan shalat, mendengarkan khutbah dan memanfaatkannya untuk mengenal hukum-hukum kurban dan yang berhubungan dengannya. 

6.  Disyari’atkan juga pada hari-hari ini dan hari-hari lainnya untuk memperbanyak amalan sunnah, berupa shalat, membaca al-Qur-an, shadaqah, memperbaharui taubat dan meninggalkan dosa dan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar.

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah seluruhnya adalah kemuliaan dan keutamaan, amalan di dalamnya dilipatgandakan, dan disunnahkan agar bersungguh-sungguh dalam ibadah di hari-hari tersebut.” [4]

MAKSUD DARI HARI-HARI YANG DITENTUKAN (AL-AYYAAM AL-MA'LUUMAAT) DAN HARI-HARI YANG BERBILANG (AL-AYAAM AL-MA'DUUDAAT)

Allah berfirman:

Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Nama Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [al-Baqarah/2: 203]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut Nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.” [al-Hajj/22: 28]

Para ulama berselisih pendapat dalam maksud dari firman Allah di atas tentang hari-hari yang berbilang dan yang ditentukan. Di antara pendapat mereka adalah:

1.    Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah hari kurban dengan perbedaan di antara mereka apakah itu tiga hari ataukah empat hari.

2.   Hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dari awal bulan sampai hari raya.

3.    Hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.

4.  Hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah dan hari-hari Tasyriq, berarti mulai awal bulan sampai akhir tanggal tiga belas.

5.  Hari-hari yang ditentukan adalah sembilan hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq bersama hari ‘Id.

Ada juga pendapat lemah yang mengatakan bahwa hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari penyembelihan. Ini menyelisihi ijma’.

Yang benar bahwa hari-hari yang ditentukan tersebut adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan hari-hari berbilang adalah hari-hari Tasyriq.

Ibnul ‘Arabi rahimahullah mengatakan, “Ulama-ulama kami mengatakan bahwa hari-hari melempar jumrah adalah hari-hari berbilang (ma’duudaat) dan hari-hari penyembelihan adalah hari-hari yang telah ditentukan (ma’luumaat).” [5]

Sedangkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Ada yang mengatakan, hari-hari yang ditentukan adalah hari-hari penyembelihan dan ada yang mengatakan ia adalah sepuluh hari pertama Dzulhijjah.” [6]

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma mengatakan bahwa hari-hari yang berbilang adalah hari-hari Tasyriq, dan hari-hari yang ditentukan adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” [7]

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fat-hul Baari [8] dan asy-Syaukani dalam Fat-hul Qadiir [9] telah memaparkan pernyataan para ulama dalam masalah ini dan semuanya hampir tidak keluar dari apa yang telah kami sampaikan di atas. Wallahu a’laam.

PERBANDINGAN ANTARA SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN DENGAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa membandingkan antara perkara-perkara baik tidak bermaksud merendahkan dari yang lebih utama, bahkan hal ini seharusnya menjadi pendorong untuk melipatgandakan amalan pada hal yang diutamakan dan mengambil keutamaannya sekuat dan semampunya.

Para ulama telah membahas masalah ini dan yang rajih menurut saya -wallaahu a’lam- bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan sepuluh malam terakhir Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam pertama bulan Dzulhijjah, itu karena keutamaan malam Ramadhan tersebut dilihat dari adanya malam Qadar dan ini untuk malamnya. Sedangkan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah diutamakan hari-harinya dilihat dari adanya hari ‘Arafah, hari penyembelihan dan hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah).

Syaikhul Islam pernah ditanya tentang perbandingan antara dua waktu tersebut, beliau menjawab, “Sepuluh hari pertama Dzulhijjah lebih utama dari sepuluh hari terakhir Ramadhan, sedangkan malam sepuluh terakhir Ramadhan lebih utama dari malam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.”

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Apabila orang yang mulia lagi cendikia merenungkan jawaban ini, tentulah ia mendapatinya sebagai jawaban yang cukup dan memuaskan.” [10]

PERBANDINGAN ANTARA DUA HARI RAYA

Para ulama telah membahas seputar permasalahan ini, ada yang mengutamakan ‘Idul Adh-ha atas ‘Idul Fithri dan ada yang sebaliknya. Setelah memaparkan keutamaan dua hari raya dan keduanya termasuk hari paling utama dalam setahun, maka yang rajih adalah ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena ibadah dalam ‘Idul Adh-ha adalah sembelihan kurban dengan shalat sedangkan dalam ‘Idul Fithri adalah shadaqah dengan shalat. Padahal jelas sembelihan kurban lebih utama dari shadaqah, karena padanya berkumpul dua ibadah yaitu ibadah badan (fisik) dan harta. Kurban adalah ibadah fisik dan harta, sedangkan shadaqah dan hadyah hanyalah ibadah harta saja.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa ‘Idul Adh-ha lebih utama dari ‘Idul Fithri, karena dua hal:

1.   Ibadah di hari ‘Idul Adh-ha, yaitu kurban lebih utama dari ibadah di hari ‘Idul Fithri yaitu shadaqah.

2.   Shadaqah di hari ‘Idul Fithri ikut kepada puasa, karena diwajibkan untuk membersihkan orang yang berpuasa dari kesia-siaan dan kejelekan dan memberi makan orang miskin serta disunnahkan dikeluarkan sebelum shalat. Sedangkan kurban disyari’atkan di hari-hari tersebut sebagai ibadah tersendiri, oleh karena itu disyari’atkan setelah shalat. 

Allah -Ta’ala- berfirman tentang yang pertama:

Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat Nama Rabb-nya, lalu dia shalat.” [Al-A’laa: 14-15]

Dan tentang yang kedua:

Maka dirikanlah shalat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]

Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan lagi, “Sehingga shalatnya orang-orang di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan jama’ah haji yang melempar jumrah al-‘Aqabah dan sembelihan mereka di negeri-negerinya sama kedudukannya dengan sembelihan hadyu jama’ah haji.” [11]


[Disalin dari kitab Ahkaamul Iidain wa Asyri Dzil Hijjah, Edisi Indonesia Lebaran Menurut Sunnah Yang Shahih, Penulis Dr Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath-Thayyar, Penerjemah Kholid Syamhudi Lc, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Footnote
[1]. HR. Al-Bukhari lihat Fat-hul Baari (II/457).
[2]. Fat-hul Baari (II/460).
[3]. HR. Muslim, lihat Shahiih Muslim (II/818-819).
[4]. Al-Mughni (IV/446).
[5]. Ahkaamul Qur-aan (I/140), karya Ibnul ‘Arabi.
[6]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/225).
[7]. Tafsiir Ibnu Katsiir (I/244).
[8]. Fat-hul Baari (II/458).
[9]. Fat-hul Qadiir (I/205).
[10]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXV/287) dan Zaadul Ma’aad (I/57).
[11]. Majmuu’ al-Fataawaa (XXIII/222).

0 komentar:

Adab Islam Sebelum Tidur

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.
Adab islami sebelum tidur yang seharusnya tidak ditinggalkan oleh seorang muslim adalah
sebagai berikut.
Adab Sebelum Tidur


Pertama: Tidurlah dalam keadaan berwudhu.
Hal ini berdasarkan hadits Al Baro’ bin ‘Azib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya), “Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka wudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710).


Kedua: Tidur berbaring pada sisi kanan.
Hal ini berdasarkan hadits di atas. Adapun manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim, “Tidur berbaring pada sisi kanan dianjurkan dalam Islam agar seseorang tidak kesusahan untuk bangun shalat malam. Tidur pada sisi kanan lebih bermanfaat pada jantung. Sedangkan tidur pada sisi kiri berguna bagi badan (namun membuat seseorang semakin malas)”
(Zaadul Ma’ad, 1/321-322).


Ketiga: Meniup kedua telapak tangan sambil membaca surat Al Ikhlash (qul huwallahu ahad), surat Al Falaq (qul a’udzu bi robbil falaq), dan surat An Naas (qul a’udzu bi robbinnaas), masing-masing sekali. Setelah itu mengusap kedua tangan tersebut ke wajah dan bagian tubuh yang dapat dijangkau. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh istrinya ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata (artinya),


“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 5017). Membaca Al Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini lebih menenangkan hati dan pikiran daripada sekedar mendengarkan alunan musik.


Keempat: Membaca ayat kursi sebelum tidur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata (artinya),

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan aku menjaga harta zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan namun aku merebutnya kembali, lalu aku katakan, “Aku pasti akan mengadukan kamu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“. Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan suatu hadits berkenaan masalah ini. Selanjutnya orang yang datang kepadanya tadi berkata, “Jika kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al Kursi karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta’ala dan syetan tidak akan dapat mendekatimu sampai pagi“. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu pendusta. Dia itu syetan“. (HR. Bukhari no. 3275)


Kelima: Membaca do’a sebelum tidur “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa”.
Dari Hudzaifah, ia berkata (artinya),

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak tidur, beliau mengucapkan: ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu, Ya Allah aku mati dan aku hidup).’ Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan: “Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’da maa amatana wailaihi nusyur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali).” (HR. Bukhari no. 6324).


Masih ada beberapa dzikir sebelum tidur lainnya yang tidak kami sebutkan dalam tulisan kali ini. Silakan menelaahnya di buku Hisnul Muslim, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni.


Keenam: Sebisa mungkin membiasakan tidur di awal malam (tidak sering begadang) jika tidak ada kepentingan yang bermanfaat.
Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata (artinya),

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrolngobrol
setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568).


Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/278, Asy Syamilah)

Semoga kajian kita kali ini bisa kita amalkan. Hanya Allah yang beri taufik.


Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.


Panggang-Gunung Kidul, 10 Rajab 1431 H (23/06/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

0 komentar:

Jual Jubah Cadar

Setelan Jubah + Cadar
Harga Rp. 180.000,-

Deskripsi Produk : 
Bahan : Yaris Tebal 
Model : Polos dengan Rits di Depan, dan Saku di Samping Kanan

Jilbab : Sepaha
Cadar : Tali


Pemesanan, hubungi Cp. 08170414024
Like juga fanspage kami diSini 
Iklan : www.rumahbelanjamuslim.blogspot.com   

0 komentar:

Membersihkan Rumah Dari Maksiat


Rumah selain harus bersih dari kotoran sampah ia juga harus bersih dari kototoran maksiat., karena maksiat adalah perbuatan yang hina yang lebih kotor daripada sampah. Bagaimana mungkin seseorang mendambakan rumahbnya menjadi surga dunia apabila dia tidak membersihkannya dari maksiat?? Rumah yang bersih dari maksiat adalah surge dunia, sedangkan rumah yang penuh maksiat adalah neraka dunia dan jembatan menuju neraka akhirat.
Rumah ku Surga ku

Diantara maksiat yang harus dibersihkan dari rumah adalah musik. Allah Ta’ala berfirman (artinya) : “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.” (QS. Lukman : 6)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mentafsirkan makna lahwalhadiits “Perkataan yang tidak berguna”, Beliau berkata : “Ia adalah Musik, demi Allah yang tiada sesembahan yang Hak selain Dia.” Dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengulanginya tiga kali.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 11/46).

Dari Anas bin Malik radhialahu ‘anhu, Ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: Musik ketika mendapat kenikmatan dan ratapan ketika mendapat musibah.” (HR. Bazzar, Dhiya’ al-Maqdisi, di shahihkan Syaikh Al Albani rahimahullah di kitab Tahrim Alaati ath-Thorob hal. 51).

Dari Abi Malik al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda:
“Sebagian umatku benar-benar akan meminum khamr (minuman yang memabukkan) mereka menamakan khamr bukan dengan nama yang sebenarnya, (disertai) dengan memukul alat music diatas keapala mereka dan (memainkan) penari wanita, maka Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam perut bumi dan merubah sebagian mereka menjadi kera dan babi.” (HR. Bukhari, di Tarikh Kabir dishahihkan Syaikh Albani rahimahullah di kitab Tahrim Alaati ath-Thorob Hal.45)

Diantara maksiat yang harus dibersihkan dari rumah adalah hiburan yang memperlihatkan aurat yang ditayangkan stasiun televisi, dan telah diketahui bersama bahwasannya banyak acara televisi yang merusak generasi umat Islam, akan tetapi anehnya kebutuhan sebagian besar kaum muslimin terhadap televisi seakan-akan sama dengan kebutuhan mereka terhadap makanan dan minuman. Rumah belum lengkap atau belum dikatakan rumah jika tidak ada televisi, bahkan seseorang dikatakan keinggalan zaman jika tidak menyaksikan acara televisi. Padahal kerusakan dan kemaksiatan yang muncul melalui televisi lebih besar daripada kebaikkannya. Sehingga banyak pemuda Islam hari ini yang lebih mengenal dan mengidolakan artis daripada para sahabat radhiallahu ‘anhu. Maka kita harus menjaga rumah kita dari bahaya televise sebagai upaya menjadikan rumah surga dunia dan menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka. Allah ta’ala berfirman, (artinya) :
Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api nereka”. (QS. at-Tahrim : 6)

Kita juga harus membersihkan rumah dari patung, gambar yang bernyawa dan anjing. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Malaikat tidak masuk rumah yang didalamnya terdapat patung dan gambar (yang bernyawa)” (HR. Muslim:5511)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Abu Thalhah radhiallahu’anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Malaikat tidak masuk rumah yang didalamnya terdapat anjing dan gambar (yang bernyawa)” (HR. Bukhari:3225, Muslim:5482).

Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhu ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa sallam bersabda:
“Barang siapa memelihara anjing selain anjing untuk berburu atau anjing untuk menjaga tanaman, maka sesungguhnya setiap hari pahalanya berkurang dua qiroth”. (HR. Bukhari:5481, Muslim:4003).

Dua qiroth sama seperti dua gunung yang besar sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari:1325, dan Muslim:2186. Maka betapa meruginya orang yang memelihara anjing di rumahnya selain anjing untuk berburu dan menjaga tanaman, pahalanya setiap hari berkurang dua qirath, padahal belum tentu dalam satu hari dia bisa mengumpulkan pahala satu qirath.

Sumber : Diambil dari artikel Rumahku Surgaku di Dunia, Ahmad Jamil bin Alim as-Salafy, Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Vol. 08 No. 9, Edisi 63.

0 komentar:

Mengenal Seluk Beluk Jual Beli Salam (Pemesanan dengan Pembayaran Kontan)


Oleh : Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, M.A.

*  Salam berarti memesan saatu barang dengan criteria yang telah disepakati dengan pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Dengan akad ini kedua pihak sama-sama diuntungkan.
*     “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Al Baqarah : 282)


Jual Beli Salam dalam Islam

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Rasulullah, keluarga dan sahabatnya. Diantara bukti kesempurnaan agama Islam ialah, dibolehkannya jual beli barang dengan cara salam. Salam berarti memesan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dengan pembayaran tunai (lunas) pada saat akad dilaksanakan. Dengan akad ini kedua belah pihak sama-sama diuntungkan. Biasanya pembeli mendapatkan keuntungan berupa :
Kepastian mendapatkan barang dengan criteria yang ia inginkan dan pada waktu yang ia tentukan.
Mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan pembelian biasa pada saat ia membutuhkan barang tersebut.

Adapun bagi penjual, maka ia mendapat keuntungan yang tidak kalah besar disbanding keuntungan pembeli, diantaranya :
Penjual mendapatkan suntikan dana segar untuk menjalankan usahanya dengan cara-cara yang halal. Dengan dana itu ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga. Karena selama belum jatuh tempo, penjual bebas menggunakan uang pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari euntungan sebanyak-banyaknya.
Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli. Karena biasanya antara waktu transaksi dan waktu penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Tidak heran bila akad salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam kepada para pengusaha terutama produsen agar terbebas dari riba. Dan mungkin ini salah satu hikmah disebutkannya syaria’at jual beli salam seusai larangan memakan riba. Allah ta’ala berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya.” (Al Baqarah : 282)

Sahabat ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata : “Saya bersaksi bahwa jual beli As Salaf (Salam) yang terjamin hingga tempo yang ditentukan dihalalkan dan di izinkan Allah dalam al-Qur’an. Allah ta’ala bermfirman (artinya) : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. “Riwayat As Syarfi’I, At Thobary, Abdurazzaq, Ibnu abi Syaibah, Al Hakim dan Al Baihaqi, dan dishahihkan oleh Al Albany.

Akhir ayat tersebut menguatkan penafsiran sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu diatas :
“Janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya. Yang demikian itu lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. (Tulislah mu’amalah itu) kecuali bila mu’amalah itu berupa perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tiada dosa atasmu bila kamu tidak menulisnya.” (al Baqarah : 282).

Cermatilah bagaimana pada akhir ayat ini Allah Ta’ala menyebutkan hukum persaksian pada perniagaan tunai. Ini cukup sebagai bukti bahwa maksut dari kata berhutang pada awal ayat ialah berjual beli dengan cara tidak tunai, bukan sekedar piutang biasa.

Diantara dalil disyari’atkannya salam ialah hadits berikut : “Dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu, ia berkata: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba dikota Madinah, didapatkan penduduk Madinah telah biasa memesan buah kurma dalam tempo waktu dua dan tiga tahun. Menanggapi fakta ini beliau bersabda: “Barang siapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih).

Berdasarkan dalil diatas dan juga lainnya, para ulama menyepakati tentang disyarai’atkannya jual beli salam.
Untuk mengenal akad salam lebih jauh, saya mengajak anda untuk mencermati beberapapersyaratannya yang harus anda indahkan. Persyaratan-persyaratan tersebut bertujuan menjaga terwujudnya hikmah dari disyarai’atkannya salam. Sebagaimana berfungsi menjauhkan unsur riba dan gharar (untung-untungan).

Pertama: Pembayaran Dilakukan Di Muka (Kontan)
As salam berarti penyerahan, sedangkan As Salaf, berarti mendahulukan. Berdasarkan arti dasark kedua kata ini, para ulama’ menyepakati bahwa pembayaran pada akad as salam harus dilakukan secara tunai dimuka, tanpa ada sedikitpun yang dihutang atau ditunda.

Dengan demikian tidak dibenarkan menunda pembayaran atau sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist berikut :
“Dari sahabat Ibu Umar radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli piutang dengan piutang.” (Riwayat Ad Daraquthny, Al Hakim, dan Al Baihaqy dan hadist ini dinyatakan lemah oleh banyak ulama’, diantaranya imam as Syafi’I, Ahmad, dan disetujui oleh al Albany). Walau demikian halnya, banyak ulama yang menyatakan bahwa kesepakatan ulama’ telah bulat untuk melarang jual beli piutang dengan piutang.

Imam Ahmad bin Hambal berkata : “Tidak ada satu hadistpun yang shahih tentang hal ini (larangan menjual piutang dengan piutang, pen), akan tetapi kesepakatan ulama’ telah bulat bahwa tidak boleh memperjual belikan piutang dengan piutang.”

Ungkapan senada juga diutarakan oleh Ibnul Mundzir1. Ibnul Qoyyim berkata : “Allah mensyaratkan pada akad salam agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Bila pembayaran ditunda, niscaya kedua belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Inilah alasan dari penamaan akad ini dengan as salam; dikarenakan adanya penyerahan uang pembayaran dimuka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka termasuk dalam penjualan piutang dengan piutang. Bahkan itulah penjualan piutang dengan piutang yang sejati. Praktik semacam ini berisiko tinggi, dan termasuk praktek untung-untungan.”2

Kedua : Obyek Salam Adalah Komoditi yang Memiliki Kriteria Jelas.

Karena obyek Salam adalah barang pesanan, maka sudah barang tentu penentuannya dilakukan melalui penyebutan kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menutup peluang terjadinya persengketaan antara penjual dan pembeli dikemudian hari, yaitu ketika telah jatuh tempo.

Dengan demikian, barang-barang yang tidak dapat ditentukan kriterianya, misalnya intan, maka tidak boleh diperjual belikan dengan cara Salam. Salam pada komoditi semacam ini termasuk ghoror (untung-untungan) dan itu nyata-nyata dilarang dalam hadits berikut :
“Bahwasannya Nabi melarang jual beli untung-untungan.” (Riwayat Muslim).

Ketiga : Menyepakati Kriteria Barang Yang Diinginkan.

Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa pada akad salam, penjual dan pembeli berkewajiaban untuk menyepakati criteria barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksut disini ialah segala hal yang bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang, serta setiap criteria yang diinginkan dan mempengaruhi harga jual barang.

Sebagai contoh bila A hendak memesan beras kepada B, maka A berkewajiban untuk menyebutkan, jenis beras, tahun panen, mutu beras, serta jumlah barang. Masing-masing criteria ini nyata-nyata mempengaruhi harga jual beras. Persyaratan ini oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barang siapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.” (Muttafaqun ‘alaih)

Setelah criteria baranng yang diperlukan telah disepakati, maka kelak ketika telah jatuh tempo, ada beberapa kemungkinan yang terjadi:

Kemungkinan Pertama : penjual berhasil mendatangkan barang sesuai criteria yang disepakati. Pada keadaan semacam ini, pembeli harus menerimanya, dan tidak berhak untuk membatalkan akad penjualan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Kaum muslimin berkewajiaban memenuhi persyaratan mereka.” (Riwayat Ahmad, Al Baihaqy dan lainnya, dan hadits ini dinyatakan shahih oleh Al Albany).

Kemungkinan Kedua : penjual hanya berhasil mendatangkan barang dengan criteria lebih rendah. Pada kondisi semacam ini pembeli berhak untuk membatalkan pesanannya dan menarik kembali uang pembayaran yang telah ia bayarkan kepada penjual. Sebagaimana ia juga dibenarkan untuk menunda atau membuat perjanjian baru dengan penjual, baik yang berkenaan dengan criteria barang atau harga barang dan hal lain yang terkait.
Walau demikian tidak ada salahnya ia menerima barang yang telah didatangkan oleh penjual, walaupun kriterianya lebih rendah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Semoga Allah senantiasa merahmati seseorang yang senantiasa berbuat mudah ketika ia menjual, ketika membeli, dan ketika menagih.” (Riwayat Bukari)
Dan bila hal ini berat baginya, maka ia tetap saja dianjurkan bersikap terhormat, dengan menjaga ahlaq karimah, dan tidak hanyut dalam amarah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang menagih haknya, hendaknya ia menagihnya dengan cara yang terhormat, baik ia berhasil mendapatkannya atau tidak.” (Riwayat at Tirmidzi, Ibu Majjah, dan Al Hakim)

Kemungkinan Ketiga : penjual mendatangkan barang yang lebih bagus dari yang dipesan dengan tanpa meminta tambah biaya. Maka para ulama’ berselisih pendapat, apakah pemesan berkewajiban untuk menerimanya atau tidak? Pada kondisi semacam ini banyak ulama’ yang menyatakan:3
Pemesan berhak untuk menolak barang yang didatangkan oleh penjual. Terutama bila ia menduga bila suatu saat penjual akan menyakiti perasaannya, dengan mengungkit-uangkit kejadian tersebut dihadapan orang lain. Akan tetapi bila ia yakin bahwa penjual tidak akan melakukan hal itu, maka ia wajib untuk menerima barang tersebut. Hal ini karena penjual telah berbuat baik, dan setiap orang yang berbuat baik tidak layak untuk dicela atau disusahkan. “Tiada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” (At-Taubah : 91).

Keempat : Penentuan Tempo Penyerahan Barang Pesanan.

Diantara hal prinsip dalam akad salam ialah kedua belah pihak menyepakati tempo pengadaan barang pesanan. Menurut mazhab As Syafi’I adanya tempo dalam akad salam bukanlah persyaratan yang baku. Menurut mereka pemesan dibenarkan untuk memesan barang dengan tenggang waktu yang pendek dan tidak mempengaruhi harga jual barang.

Mereka beralasan bahwa : bila pemesanan barang dalam tempo waktu yang cukup lama dibenarkan, padahal dimungkinkan penjual tidak berhasil memenuhi pesanan, maka pesanan dalam tempo waktu yang singkat lebih layak untuk dibenarkan.4

Pendapat mazhab Syafi’I ini lebih kuat disbanding pendapat kebanyakan ulama; yang mensyaratkan adanya tempo waktu yang mempengaruhi harga jual barang. Hal ini dikarenakan hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata Allah haramkan. Sedangkan pada permasalahan kita ini, tidak ada satu dalilpun yang nyata-nyata melarang akad salam dengan tenggang waktu singkat. Setelah persyaratan tempo pengadaan barang ini disepakati oleh kedua belah pihak, maka pada saat jatuh tempo, ada tiga kemungkinan:

Kemungkinan Pertama : Pedagang berhasil mendatangkan barang pesanan pada tempo yang disepakati, maka pada keadaan ini, pemesan berkewajiban untuk menerimanya.

Kemungkinan kedua : Pedagang tidak dapat mendatangkan barang pesanan, maka pemesan berhak menarik kembali uangnya atau memperbaharui perjanjian.5

Kemungkinan Ketiga : Pedagang mendatangkan barang sebelum tempo yang disepakati. Pada kondisi semacam ini, bila pemesan tidak memiliki alasan untuk menolak barang yang ia pesan, maka ia wajib untuk menerimanya. Hal ini karena pedagang telah berbuat baik, yaitu dengan menyegerakan pesanan. Adapun bila pemesan memiliki alasan yang dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya kecuali pada tempo yang telah disepakati, maka ia dibenarkan untuk menolaknya. Hal ini berdasarkan haits berikut : “Tidak ada kemadhorotan atau pembalasan kemadhorotan dengan yang lebih besar dari perbuatan.” (Riwayat Ahmad, Ibu Majjah dan dinyatakan hasan oleh al Albany).

Sebagai contoh, anda memesan keranjang parsel yang diserahkan pada bulan ramadhan. Dan sudah barang tentu harga jual keranjang parsel pada saat itu tinggi, karena mendekati Lebaran Idul Fitri, berbeda pada bulan-bulan sebelumnya. Pada kondisi ini, pemesan dibenarkan untuk tidak menerima pesanannya pada bulan Rabiul Awwal kecuali pada tempo yang telah disepakati.  

Kelima : Pedagang Penerima Pesanan Tidah Harus Pemilik/Produsen Barang.

Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa pedagang yang dibenarkan untuk menjalankan akad salam ialah pedagang yang memiliki atau penghasil barang saja. Ketahuilah saudaraku, anggapan ini tidak benar. Oleh karena itu, dahulu para sahabat tidak pernah bertanya kepada para pedagang penerima pesanan mereka: apakah mereka pemilik atau penghasil barang pesanannya atau tidak. Muhammad bin Abil Mujalid mengisahkan :
“Pada suatu hari aku diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk bertanya kepada sahabat Abdullah bin Aufa radhiallahu ‘anhu. Mereka berdua berpesan: bertanyalah kepadanya, apakah dahulu sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memesan gandum dengan pembayaran lunas dimuka? Sahabat Abdullah menjawab: Dahulu kami memesan dari para pedagang negeri Syam; gandum, sya’ir (satu jenis gandum dengan mutu rendah), dan minyak zaitun dalam takaran, dan tempo penyerahan yang disepakati. Muhammad bin Abil Mujalid kembali bertanya: Apakah kalian memesan langsung dari para pemilik ladang? Abdullah bin Aufa kembali menjawab: Kami tidak pernah bertanya kepada mereka, tentang hal itu.” (Riwayat Al Bukhari)

Berdasarkan praktik akad salam yang dilakukan oleh para sahabat, maka dibenarkan menjalin akad dengan pedagang, walaupun mereka bukan produsen, perajin maupun penghasil barang.

Penutup

Demikian gambaran singkat tentang akad salam yang merupakan solusi tepat bagi umat Islam dalam berbagai perniagaan yang mereka jalankan dimasa ini. Sejatinya masih banyak permasalahan seputar akad salam yang dipaparkan oleh para ulama’ dalam kitab-kitab fiqih mereka. Hanya saja, karena keterbatasan ruang, saya sarikan point-point terpetning dan fital dalam akad ini. Semoga pemaparan singkat ini bermanfaat bagi anda, wallahu Ta’ala a’alam.

Catatan :
1.     Silahkan baca At Talkhisu Al Habir oleh Ibnu Hajar Al Asqalany 3/406 dan Irwa’ul Ghalil oleh al Albani 5/220-222.
2.     I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qoyyim 2/20.
3.     Al ‘Aziz oleh Ar Rafi’i 4/425, Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/421, Mughni Al Muhtaj oleh As Syarbini 2/115, dan As Syarah Al Mumti’ oleh Syaikh Ibnu Utsaimin 9/69.
4.     Baca Al ‘Aziz oleh Ar Rafi’I 4/396, dan Mughnil Muhtaj oleh As Syarbiny 2/105.
5.     Baca Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 6/407. 

Sumber : Majalah Pengusaha Muslim Edisi 10. Volume 1

0 komentar: