Hal-Hal Yang Membatalkan Puasa


Makan dan Minum Dengan Sengaja 
Yaitu, memasukkan makanan atau minuman ke kerongkongan, baik melalui mulut atau melalui hidung, dari jenis makanan atau minuman apa saja. Dan tidak diperbolehkan bagi orang yang berpuasa menghirup asap dupa sampai masuk ke dalam kerongkongannya, karena asap adalah suatu materi. Rokok dan Khomr  atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya (seperti potongan kayu) juga dapat membatalkan puasa.   Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan minum. Adapun mencium bau wewangian maka tidak mengapa.

Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.

Mengeluarkan air mani 
Mengeluarkan air mani karena bercumbu, mencium, atau memeluk. Adapun jika mencium dan tidak keluar air mani maka tidak mengapa.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“(Allah Ta’ala berfirman): ketika berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”.

Mengeluarkan mani dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana makan dan minum. (Lihat Syarhul Mumthi’, 6: 373-374).

Jima’ (Berhubungan suami isteri)
Yaitu memasukkan dzakar (kemaluan laki-laki) ke farji (kemaluan wanita). Maka, jika seorang yang berpuasa melakukan jima’, maka batal puasanya. Kemudian, jika jima’ tersebut dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan sedangkan orang yang melakukannya termasuk orang yang wajib untuk berpuasa, maka wajib baginya membayar kafarah mughalladhah, karena jeleknya apa yang ia lakukan. Kafarah tersebut adalah membebaskan seorang budak, jika tidak mendapatkan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu mengerjakannya maka memberikan makanan kepada enam puluh orang miskin. Adapun jika orang yang melakukan jima’ tersebut adalah orang yang tidak wajib untuk mengerjakan puasa, seperti musafir, maka yang wajib ia kerjakan hanyalah mengqadha’ puasanya tanpa membayar kafarah.

Muntah dengan sengaja
Yaitu, mengeluarkan isi lambung berupa makanan atau minuman. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 
Barangsiapa yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’ baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar qodho”. (HR. Abu Daud no. 2380. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). 

Haidh dan nifas 
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa, puasanya tidaklah sah. Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” (HR. Bukhari no. 304)

Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus mengqodho’ puasa di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha' puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha' shalat." (HR. Muslim no. 335).

Berniat membatalkan puasa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari Umar bin Al Khottob). Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.”(Al Muhalla, 6: 174). Ketika puasa batal dalam keadaan seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 106).

Pembatal-pembatal puasa tersebut di atas tidaklah menyebabkan batalnya puasa kecuali dengan tiga
syarat:
  1. Mengetahui hukum dan waktu.
  2. Dikerjakan dalam keadaan ingat.
  3. Dikerjakan tanpa keterpaksaan.
Allah Ta’ala berfirman: 
Dan tidak ada dosa atas kalian pada apa-apa yang kalian tersalah padanya, akan tetapi (yang ada dosanya) adalah apa-apa yang disengaja oleh hati-hati kalian.”

Dan Allah Ta’ala berfirman:
Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.

Maka Allah Ta’ala berfirman:
Aku telah melakukannya.

Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim, dari Adi bin Hatim bahwasanya ia meletakkan dua utas benang berwarna hitam dan putih di bawah bantalnya, lalu ia makan sembari melihat pada kedua benang tersebut. Setelah jelas perbedaan antara kedua benag tersebut, maka ia menghentikan makannya. Ia melakukannya karena menyangka bahwa inilah makna firman Allah Ta’ala;

Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam.

Kemudian ia mengkhabarkan apa yang ia kerjakan tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu beliau bersabda kepadanya:

Sesungguhnya yang dimaksudkan adalah putihnya siang dan gelapnya malam.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkannya untuk mengulangi puasanya.

Sumber : 
  1. Meraih Surga Bulan Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah : Team I’dad Du’at Ponpes Al-Ukhuwah, PUSTAKA AL-MINHAJ.
  2. Panduan Ramadhan BEKAL MERAIH RAMADHAN PENUH BERKAH, Muhammad Abduh Tuasikal, Pustaka Muslim. 

0 komentar: