Pinjam Meminjam Dalam Islam
Kehidupan di dunia tidak lepas dari berbagai kesulitan
dan kesusahanyang menimpa. Terkadang dengan izin Allah kita mendapat keluasan
rezeki dan ketentraman jiwa. Di kala yag lain, Allah uji kita dengan kesempitan
dan beban hidup yang membuat kita susah memejamkan mata. Oleh karenanya,
termasuk kemudahan Allah kepada kita adalah bolehnya meminjam harta orang lain
saat membutuhkannya. Tentu hal ini sesuai dengan hikmah Allah subhanahu wa
ta’ala dan kebijaksanaan-Nya. Allah telah mengatur praktik pinjam meminjam
harta ini dalam syariat-Nya (Islam). Untuk itu amat penting untuk kita mengetahui
aturan tersebut, supaya kita mendapatkan kebaikan dan pahala ketika
melaksanakannya.
1.
Pinjamilah
saudaramu
Ketika saudara kita sesama muslim butuh bantuan pinjaman,
maka kita sangat dianjurkan untuk meminjaminya. Bukankah kita ingin mendapatkan
pahala seperti bersedekah setiap hari? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda yang artinya, “Siapa meminjamkan (harta) kepada orang
lain, maka pahala sedekah akan terus mengalir kepadanya setiap hari dengan
jumlah sebanyak yang dipinjamkan, sampai pinjaman tersebut dikembalikan.” [H.R.
Muslim, Ahmad, Ibnu Majah].
2.
Berilah
kelapangan, jangan dipersulit
Memudahkan orang lain dalam perkara utang, akan
menyebabkan kita diselamatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada hari
yang tidak ada ampunan-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda yang artinya, “Siapa yang ingin diselamatkan oleh Allah dari
kesulitan-kesulitan hari kiamat, maka hendaklah ia mempermudah urusan seseorang
atau hendaklah ia membebaskan utangnya.” [H.R. Muslim].
3.
Tulislah dan
hadirkan saksi
Dalam urusan pinjam meminjam ini, tidak sedikit kita
jumpai perselisihan yang berbuntut permusuhan. Hal ini karena tidak adanya
bukti pinjam meminjam baik dari pihak peminjam atau yang meminjamkan. Dari
sinilah pentingnya kita memerhatikan dan melaksanakan perintah Allah subhanahu
wa ta’ala untuk menuliskan akad pinjam meminjam dan menghadirkan saksi
dalam akad ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian bermuamalah (jual beli, utang piutang,
sewa menyewa) tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian
menuliskannya...” [Q.S.Al-Baqarah:282].
Dalam ayat yang sama, Allah subhanahu wa ta’ala
memerintahkan untuk menghadirkan saksi :
“... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (diantara kalian). Jika tak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.” [Q.S.
Al-Baqarah:282].
4.
Jangan berbuat
riba
Dalam hutang piutang sangat rentan dengan praktik riba.
Inilah yang terjadi dikalangan kaum musyrikin dan orang-orang Yahudi di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Sayangnya sebagian muslimin
menganggap remeh hal ini, bahkan menganggap bahwa politik ini boleh dan serupa
dengan jual beli. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman :
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.” [Q.S. Al-Baqarah:275].
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman :
“Allah telah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu
berbuat dosa.” [Q.S. Al-Baqarah:276].
Dalam ayat-ayat setelahnya Allah subhanahu wa ta’ala
menegaskan dengan memerintahkan untuk menjauhi riba ini. Bahkan kepada yang
membangkangAllah umumkan peperang kepadanya :
“Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan
riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian.” [Q.S.
Al-Baqarah:279]. Maka hendaknya orang yang melakukan praktik ribawi bersiap
mendapatkan kebangkrutan di dunia sekaligus di akhirat kelak, apabila tidak
bertaubat.
5.
Melebihkan
pengembalian pinjaman bolehkah?
Melebihkan jumlah pengembalian pinjaman bagi peminjam
dibolehkan dengan syarat tidak disebutkan dalam akad baik secara tegas ataupun
isyarat. Dan tambahan ini menjadi sebuah hadiah. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan amalan beliau. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Boleh ada kelebihan
pembayaran, dan berubah menjadi hadiah, asal tidak diakadkan sebelumnya.” [H.R.
Bukhari, Muslim, dan Abdur Razaq].
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah melakukan hal ini tatkala beliau meminjamkan hewan dan mengembalikan
dengan yang lebih baik seraya mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang
paling baik kalian adalah yang paling baik dalam melunasi.” [Shahih, H.R.
Al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu].
Namun bila menambahkan jumlah pengembalian barang itu
telah menjadi suatu adat yang berlaku, maka sebaiknya kita jangan melakukannya.
Dalam rangka kehati-hatian, sebab ditakutkan bahwa tambahan ini masuk dalam
riba.
Harus diingat disini, bahwa hadiah tersebut diberikan
setelah uang dilunasi. Tidak boleh sebelumnya. Apabila, tidak terpenuhi syarat
ini, maka terhitung sebagai riba.
Bahkan seluruh bentuk manfaat yang diberikan sebelum
pelunasan oleh orang yang berhutang kepada pihak yang menghutangi karena
semata-mata uang tersebut, maka itu adalah riba. Diriwayatkan dari sahabat Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda yang artinya, “Setiap pinjaman yang menarik suatu
manfaat maka itu adalah riba.” [H.R. Al Harits bin Abi Usamah].
6.
Bagi yang
berhutang, perbanyaklah doa memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala
untuk melepaskan hutangnya.
Doa yang dibaca misalnya adalah :
“Ya Allah tutuplah auratku, berikanlah keamanan dari
ketakutanku, dan lepaskanlah hutangku.” [H.R. At-Thabrani dari
sahabat Khabbab bin Al Art radhiallahu ‘anhu, dihasankan oleh Syaikh Al
Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’].
7. Disunnahkan
mengucapkan tahmid (Alhamdulillah) setelah membayar hutang sebagai rasa syukur
kepada Allah subhanahu wa ta’a.
Allhu a’lam. [Hammam]
Sumber : Majalah Tashfiyah edisi 15, dengan sedikit perubahan
judul.
KOLEKSI GAMIS AKHWAT SYAR'I, KLIK DI SINI.
0 komentar: