Ketika Nikmat Itu Datang
Ketika
nikmat itu datang kepada manusia banyak dari mereka yang mengganggap
bahwasannya Allah sedang memuliakannya, namun ketika bencana datang, kesusahan,
berbagai permasalahan yang berat menimpa, kesulitan rizki maka kebanyakan dari
kita beranggapan bahwa Allah sedang menghinakan kita. Hal ini sebagaimana yang
Allah telah firmankan di dalam al-Qur’an,
“Adapun
manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya
kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila
Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku
menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16)
Lalu
Allahpun membantah orang-orang yang beranggapan demikian dalam ayat selanjutnya.
Yaitu orang-orang yang ketika diberi sebagian kenikmatan dunia ia menganggap
Allah telah memuliakannya dan ketika Allah member ujian berupa kesempitan rizki
maka ia mengira bahwa Allah sedang menghinakannya. Allah bantah dalam ayat
setelah “Sekali-kali tidak (demikian)”.
Bahwasannya yang
perlu kita ketahui bersama, nikmat ataupun kesuasahan di dunia ini bukanlah
tolok ukur untuk menilai apakah itu adalah sebuah kemuliaan atau kehinaan.
Karena cobaan, ujian yang Allah berikan itu bisa berupa ujian dengan kesenangan
dunia, dan bisa juga berupakan kesempitan harta atau kesulitan di dunia. Mari
kita renungkan firman Allah berikut ini,
"Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)
dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan."
(Qs. al-Anbiya': 35).
Maka dari sini kita dapat mengerti bahwasannya tidak
selamanya orang-orang yang di dunia ini mendapatkan kelapangan rizki adalah
orang-orang yang dimuliakan oleh Allah dan tidak selamanya orang-orang yang
rizkinya disempitkan oleh Allah adalah orang-orang yang di hinakan. Karena bisa
jadi apa yang ia dapatkan dari kenikmatan dunia saat ini, kesenangannya,
kelapangan rizkinya adalah ujian baginya.
Mungkin ketika seorang muslim mendapat ujian berupa
kesedihan, kepayahan, atau sedikitnya rizki banyak daari kita yang mampu
bersabar terhadap ujian ini, namun ketika seorang muslim di uji dengan sedikit
kesenangan di dunia ini, kelapangan rizki, maka banyak dari kita yang justru
lalai dan terlupakan oleh dunia ini.
Namun bukan berarti kita tidak boleh mencari kesengan dunia,
tidak boleh mencari harta, atau tidak boleh mencari kekayaan. Semua ini pada
hukum asalnya adalah boleh, sebagaimana kaidah ushul yang kita kenal bersama bahwasannya
hukum asal dari perkara dunia itu adalah
halal kecuali setelah ada dalil yang mengharamkannya. Maka mencari harta dunia
pada asalnya adalah boleh, yang tidak di bolehkan dalam hal ini adalah Tertipu Dengan Dunia.
Orang yang tertipu dengan dunia adalah orang yang
fokusnya pada dunia dan lupa dengan akhiratnya. Padahal kehidupan didunia ini
hanyalah sementara, ibarat seorang musafir yang hanya sekedar numpang lewat dan
berbekal di dalamnya. Ketika kita di dalam perjalanan bukan berbekal malah
lalai, padahal kita terus dalam perjalanan menuju akhirat, maka kelak ketika
sampai kita pada akhir usia kita, apa yang akan kita bawa menjadi bekal
keselamatan kita ketika menghadap kepada Allah rabbul ‘alamin.
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman,
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan
senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam
kekayaan dan anak keturunan , seperti
hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu
menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al Hadid : 20)
Maka jika kita menyadari bahwasannya kesenangan di dalam
dunia ini adaah kesenangan yang palsu, dan kelak bahwasannya kita akan sampai
pada tempat pada keadaan dimana disana kita akan hidup kekal, dan disana hanya
ada dua tempat yang akan menjadi pilihan bagi kita, yaitu tempat yang di
dalamnya hanyalah berisi kesenangan, tawa, dan kebahagiaan yaitu surga, atau
tempat yang di dalamnya terdapat tangisan dan kesedihan yaitu neraka. Ketika
kita lupa dengan kedua tempat ini, ketika kita tidak mengusahakan mana pilihan
kita yang akan kita pilih sebagai tempat di akhirat kita kelak mulai dari
sekarang, dan malah justru tertipu dengan dunia, terlupakan dari berbekal dan
beranggapan kesuksesan hanyalah dalam pandangan dunia, maka tunggulah ketika
ketetapan Allah itu datang, dan bahwasannya setiap manusia akan dimintai
pertanggung jawabannya terhadap apa yang telah ia perbuat.
Oleh karena itu, kesenangan dunia ini bukanlah ukuran
keberhasilan atau kegagalan seorang manusia, bukanlah ukuran kemuliaan dan
kehinaan seorang manusia. Karena betapa banyak orang yang berhadil hidupnya di
dunia mendapat berbagai macam perhiasannya, namun ia lupa terhadap akhirat,
justru keberhasilannya di dunia ini akan membawa petaka baginya kelak saat
menghadap kepada Allah. Harta kekayaan yang ia daptkan malah akan menjadi
pemberat pertanggung jawabannya kelak di akhirat, dan ia akan selalu ditanya dari
mana ia dapatkan harta itu, dan untuk apa ia pergunakan harta itu. Apakah ia
mendapatkannya dengan cara-cara yang halal, ataukah yang haram, dan apakah ia
pergunakan harta itu di dalan Allah ataukan ia gunakan sia-sia, berfoya-foya
dan akhirnya iapun terjerumus kedalam neraka akibat hartanya di dunia.
Dan juga yang perlu diwaspadai bagi setiap muslim,
bahwasannya jangan dulu berbangga dengan harta dan kesenangan yang ia dapatkan
di dunia ini sebelum kita mengukur apakah dengan kenikmatan yang banyak berupa
harta dunia dan perhiasaan ini kita dapatkan saat kita ta’at kepada Allah
ataukah ketika maksiat? Ketika kita mendapatkan semua nikmat Allah ini dalam
keadaan ta’at dan jauh dari maksiat maka Alhamdulillah mudah-mudahan ini bisa
berkah bagi kita dapat mendatangkan pahala. Namun ketika kita mendapatkan
kebahagiaan, kenikmatan dunia, dan berbagai macam perhiasannya namun kita dalam
keadaan jauh kepada Allah, dan selalu bermaksiat kepada Allah maka takutlah
bahwasannya itu adalah istidroj dari
Allah yang sewaktu-waktu Allah dapat hempaskan kita dari kesenangan itu
kapanpun hingga yang tersisa hanyalah kesedihan dan penyesalan yang dalam.
Simak riwayat berikut,
Dari Ubah bin Amir radhiallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي
الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ
فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
“Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada
seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu
hakikatnya adalah istidraj dari Allah.”
Kemudian Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam membaca
firman Allah,
فَلَمَّا
نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى
إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
“Tatkala mereka melupakan
peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua
pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”
(QS. Al-An’am: 44)
(HR. Ahmad, disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah).
(HR. Ahmad, disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah).
Maka dari sini ketika
kita mendapatkan dunia, mendapatkan harta yang berlimpah di dunia ini kita
harus khawatir, apakah yang kita dapatkan ini benar-benar nikamat yang tidak
membawa bencana, ataukah justru ini adalah istidroj dari Allah.
Dalam hal ini jika
kita melihat kembali pada kisah-kisah orang-orang sholih pada zaman dahulu,
berapa banyak dari mereka yang ketika Allah luaskan rizkinya, Allah berikan
rizki dan keseangan tanpa harus mereka mengusahakannya malah justru mereka
orang-orang soleh ini sedih dan takut. Bukan sedih dan takut bahwasannya apa
yang di berikan Allah ini akan dicuri orang, atau diambil orang seperti pada
zaman sekarang ini. Justru sedih dan takunya mereka adalah karena takut
bahwasannya kebahagiaan dunianya, nikmatnya ketika didunia ini adalah bentuk
penyegeraan kebaikan baginya oleh Allah dan kelak di akhirat ia tidak
mendapatkannya.
Coba kita bandingkan
di zaman sekarang ini? Apakah pernah terbersit sedikit saja dari
saudara-saudara kita yang tertipu oleh dunia fikiran bahwasannya kenikmatannya
ini adalah bentuk penyegeraan dari Allah dan kelak di akhirat ia tidak
mendapatkannya? Jauh sekali mungkin dari kekhawatiran seperti ini.
Malah justru fenomena
yang terjadi di akhir zaman ini, bukan mereka berdoa untuk mendapatkan
kesenangan di akhirat, dan takut ketika mendapat kesenangan di dunia merupakan
bentuk penyegeraan dari kenimatan akhirat, malah kita temui pada hari ini
mereka yang beribadah dan meminta kepada Allah namun harapannya hanyalah
kesengan dunia, harta dunia dan segala macam perhiasannya yang menipu. Berapa
banyak kita lihat di zaman ini orang yang beribahnya untuk mengharap dunia?
Padahal hal ini bisa menadi sebuah perbuatan syirik, yang ini merupakan dosa
yang paling besar dari dosa besar lainnya.
Maka hendaknya kita
selalu waspada dari berbagai macam tipu daya syaiton ketika di dunia. Mari kita
selalu fokuskan tujuan kita adalah tujuan akhirat sehingga ketika di dunia ini
yang menjadi pokok dan inti dalam kehidupan kita adalah hanya beribadah dengan
mentauhidkan Allah subahanahu wa ta’ala.
Allah subahanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ
وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ
أَرَادَ الْآَخِرَةَ وَسَعَى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ كَانَ
سَعْيُهُمْ مَشْكُورًا
“Dan barangsiapa yang
menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh
sedang ia adalah mu’min, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya di
syukuri / dibalas dengan baik.”
(QS. Al Israa’: 19)
Maka siapa saja yang
tujuannya adalah akhirat, hendaknya ia jalani jalannya yang menghantarkan ke
kebahagiaan akhirat itu dengan cara beribadah yang ikhlas mengharap hanya wajah
Allah, dan selalu beritiba’ kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Mudah-mudahan kita
digolongkan Allah termasuk dalam orang-orang yang amalannya di terima Allah,
amalannya di syukuri Allah dan dibalas dengan kebaikan kelak dihari pembalasan.
Mudah-mudahn kita selalu terjaga dari berbagai macam fitnah dunia, dan
mudah-mudahan kita tidak digolongan oleh Allah sebagai orang-orang yang cinta
dunia dan lupa akhirat. Amiin.
0 komentar: