Busana Syar’i Antara Teori dan Realita
Telah
kita ketahui bersama bahwasannya agama Islam ini telah mengatur segala bentuk
hajat hidup manusia dari hal yang terlihatnya paling sepele sampai hal yang
paling besar yaitu bertauhid kepada Allah. Salah satu diantara syariat-syariat
Allah bagi seorang wanita adalah kewajiban menutup aurat, menutup perhiasannya
dengan sempurna yaitu dengan berbusana syar’i.
Dan
semua ini secara tepri telah jelas ada di terpampang di dalam al-Qur’an maupun
dalam penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam lengkap dengan penyampaian dari para ulama dan ustadz disekitar
kita. Namun ternyata dengan syariat yang jelas, hukum – hukum yang jelas dimana
dengan berbagai macam kemajuan teknologi saat ini setiap manusia dengan mudah
dapat mengakses ilmu, tidaklah serta ini semua membuat realita yang sesuai
dengan teori.
Betapa
banyak yang mengetahui kewajiban wanita untuk menutupi rambutnya dengan jilbab,
namun ternyata masih saja banyak kita temua wanita yang di KTP muslimah namun
enggan memakainya. Betapa banyak kita lihat wanita yang mengetahui larangan
menampakkan aurat, menampakkan bentuk tubuh, namun masih saja ngeyel dengan
berbagai alasan yang tidak jelas.
Bukankah
ketika seorang muslim dan muslimah sampai padanya hujjah, sampai padanya dalil
tentang perintah dan larangan yang jelas maka ia harus tunduk padanya? Bukankah
sebesar – besar hukum yang wajib dita’ati adalah hukum Allah? Dan sewajib-wajib
ketaatan terhadap hukum baik perintah maupun larangan adalah paling wajib
dijalankan adalah hukum Allah?
Namun
mengapa, masih saja kita temui, seorang muslimah, yang tahu mengenai sebuah
perintah dan sebuah larangan dari Allah, dan ketika itu semua bertabrakan
dengan adat, bertabrakan dengan budaya, bertabrakan dengan kebiasan ditempat
kerja, bahkan bertabrakan dengan perintah atasan (bos) maka hukum Allah lah
yang dikalahkan. Adilkan sikap seperti ini?
Wahai
saudariku, siapakah yang memberi rizki kepada kita? Siapakah yang memberikan
nikmat yang banyak kepada kita? Siapakah yang memberikan kesehatan kepada kita?
Siapakah yang memberikan kebahagiaan kepada kita? Siapakah yang memberikan
kemanan kepada kita? Dan siapakah yang memberikan segala macamnya sehingga kita
bisa leluasa hidup dan bernafas seperti sekarang ini?
Tentu
jika ini ditanyakan kepada kaum musyrikinpun mereka akan menjawab Allah?
Lalu
mengapa, jika segalanya yang ada pada diri kita ini, segalanya yang ada dalam
hidup kita sampai saat ini, detik ini adalah murni pemberian dari Allah, tetapi
ketika kita di wajibkan dan dilarang terhadap suatu perkara oleh Allah justru
perintah-Nya lah yang kita kalahkan dibandingkan perintah makhluk? Lalu dimana
esensi ketundukan kita terhadap Allah?
Tidakkah
layak bagi kita, ketika kita telah diberi banyak kenikmatan dari Allah, banyak
nikmat dari Allah, maka kita mensyukurinya dengan beribadah hanya kepada-Nya,
dengan selalu ta’at terhadap perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Lalu
jika seperti ini realitanya, jika seperti ini kenyataannya, pantaskah kita
menyebut diri kita sebagai Hamba Allah? Ataukah itu hanya sekedar pengakuan
yang kosong dari amalan?
Wahai saudaraku
muslimah, tulisan ini tidaklah bertujuan untuk menunjukkan bahwasannya kamilah
yang paling benar, kamilah yang paling baik, kamilah yang paling dekat dengan
surga Allah. Tulisan ini adalah sebuah teguran bagi diri kami sendiri dan
sekaligus tanda cinta kami kepada semua saudariku (seiman) muslimah yang masih
saja banyak menuruti pertimbangan-pertimbangan dunia ketika beramal.
Jika
kita berbica untung rugi, maka tentulah keuntungan terbesar itu ketika kita
bisa selamat kelak di hari dimana kita akan ditanya terhadap amalan kita, dan
kita akan dapati setumpuk amalan tersebut diterima dan dapat menjadi sebab kita
masuk surga. Dan tentu merupakan sebuah kerugian bagi kita semua, ketika kelak
di hari dimana tidak ada yang dapat membantu kita kecuali hanya amalan kita,
dan ternyata amalan itu tidak dapat
memberikan faidah apa-apa kepada kita sehingga kita terjatuh dalam ancaman
neraka. Waliyyadzubillah.
Maka
jika untung dan rugi pertimbangannya seperti diatas, masihkah kita sekarang mau
beramal dengan pertimbangan dunia? Entah takut di cap denganberbagai laqob
buruk dari masyarakat karena menjalankan ketaatan berbusana syar’i, diancam
dipecat dari tempat kerja, terlihat menyelisihi banyak orang, terlihat aneh
dimata manusia, dan lain sebagainya. Tentu jika pertimbangannya adalah
keuntungan dan kerugian yang sebenarnya kelak di akhirat, berbagai macam
kemungkinan yang mungkin terjadi diatas tentu tidaklah sesuai dengan kabikan
yang mungkin kita dapat dengan beramal sholeh.
Tidakkah
kita dapati dahulu kaum muslim dan muslimah di zaman jahiliyah mereka berjuang
mempertahankan keimanannya ditengah-tengah badai cobaan yang begitu dahsyat.
Dari berbagai bentuk siksaan fisik yang menghantarkan kepada kematian, siksaan
batin, keterkucilan, kesusahan makan, di asingkan dan berbagai macam ujian yang
jika kita berada di saat itu mungkin kita tidak akan mampu menahanya.
Lalu
mengapa di hari ini, dimana ujian itu tidak seberat yang dialami para Rosul, pada
sahabat, kita lembek, hilang mental kita untuk beramal sholeh dan dikalahkan
dengan cinta dunia di dada kita? Tidak, ini bukanlah sikap seorang muslim dan
muslimah. Mari kita kembali mengintrospeksi diri kita msing-masing, sudah
sampai mana amanlan kita, apakah kita telah beramal selama ini dengan amalan
yang dapat mendekatkan diri kita ke surga, atau justru amalan itu adalah
amalan-amalan yang dapat menjauhkan kita dari surga.
Sebelum
semuanya terlambat, mari kita benahi diri kita, kita benahi niat kita, kita
lakukan apa yang terbaik untuk kita dari agama kita. Jangan sampai hanya karena
alasan duni kita tinggalkan pahala akhirat yang begitu nyata.
Memang
sekarang dunia ini nyata bagi kita, namun kelak cepat atau lambat, dunia ini
hanya akan jadi cerita bagi kita semua, dan akhiratlah yang nyata. Dan di
akhirat bukanlah tempat kita untuk beramal. Di akhirat adalah tempat hisab,
tepat pertanggung jawaban, tempat perhitungan. Jangan sampai kita termasuk
orang-orang yang ingin dikembalikan ke dunia kelak di akhirat karena ingin
beramal sholih yang dulu telah kita tinggalkan. Sesungguhnya penyesalan itu
hanya ada di akhir. Maka jangan sampai kita menyesal ketika penyesalan itu
sudah tidak bergana lagi bagi kita. Wallahu a’lam.
Fanspage
RUMAH BELANJA MUSLIM
Akun FB
RUMAH BELANJA WHYLUTH
0 komentar: