Dunia adalah tempat persinggahan kita. Kita akan kembali
menempuh perjalanan yang teramat jauh setelah giliran itu datang. Dan tempat
singgah yang bernama dunia ini harus kita tinggalkan, walaupun di dalamnya
terhidang segala macam kesenangan sekaligus kesusahan. Sungguh kesenangannya
telah melalaikan banyak orang dan kesusahannya pun telah memfitnah banyak
orang, sehingga tidak sedikit yang melupakan tempat kembalinya, yaitu akhirat.
Hakikah Kehidupan Dunia
Bila kita mencermati kondisi manusia disekitar kita, kita
akan mendapati mayoritas manusia sangat tergantung dengan dunia. Orientasi
mereka hanya tertuju bagaimana bisa hidup bahagia di dunia. Lupa dengan urusan
akhiratnya. Yang penting hidup senang, harta melimpah tanpa berfikir kemana
nanti akan kembali, surga ataukah neraka.
Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan keterangan
al-Qur’an dan Sunnah yang menggambarkan bahwa dunia adalah kehidupan sementara,
hina dan hanya kesenangan yang menipu.
Untuk memahami bagaimana hakikat kehidupan yang sedang
kita jalani ini, marilah ita resapi bersama sebagian dalil dalil al-Qur’an dan
hadits yang berbicara tentang masalah kehidupan dunia.
Pertama
Allah subhanahu wa ta’a berfirman :
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu,
adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah
dengan subrunya karena air itu tanaman tanaman bumi, diantaranya ada yang
dimakan manusia dan binatang ternak, hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasaiya, tiba tiba datanglah kepadanya adzab Kami
diwaktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana
tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah
Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang berfikir.”
(QS. Yunus [10] : 24).
Kedua
Allah subahanahu wa ta’ala juga berfirman :
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia),
kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi
subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu
menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia
tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik serta lebih baik
untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi [18]:45-46).
Dalil dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, diantaranya ;
Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu berkata :
“Rasulullah melewati sebuah pasar dan para sahabat
berada disekelilingnya. Beliau mendapati bangakai seekor kambing yang kecil
telinganya, lantas beliau angkat telinga bangkai kambing tersebut seraya
berkata: ’siapakah diantara kalian yang mau membeli kambing ini dengan satu
dirham? ’ Para sahabat menjawab:’Kami tidak suka sama sekali, apa yang bisa
kami perbuat dari seekor bangkai kambing?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: ‘Bagaimana jika kambing itu untuk kalian.’ Para sahabat
menjawab: ’Demi Allah apabila kambing tersebut mash hidup kami tetap tidak mau
karena dia telah cacat, bagaimana lagi jika sudah menjadi bangkai!’ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Demi Allah, dunia itu lebih hina di
sisi Allah daripada seekor bangkai kambing ini bagi kalian.” (HR. Muslim:
2957).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda:
“Demi Allah, tidaklah duniadibandingkan akhirat
melainkan seperti salah seorang yang mencelupkan jari tangannya kelautan, maka
hendaklah dia melihat apa yang didapat pada jari tangannya setelah ditarik
kembali.” (HR. Muslim: 2858).
Imam Ahmad bin Qudamah rahimahullah mengatakan:
“Ketahuilah dunia itu adalah gambaran benda yang ada dihadapan manusia. Di
dalamnya terdapat bagian untuknya, yaitu bumi dan isinya. Bumi adalah tempat
tinggalnya, dan apa yang bisa dia hasilkan dai bumi berupa pakaian, makanan,
minuman dan menikah. Semua itu adalah perbekalan dirinya untuk menjalani hidup
menuju Allah. Karena manusia tidak bisa hidup kecuali dengan perkara-perkara di
atas batas. Barangsiapa yang mengambil bagiannya didunia sesuai aturan yang
diperintahkan, maka ia terpuji. Akan tetapi barangsiapa yang mengambilnya lebih
dari kebutuhannya, maka ia telah meraih kejelekan dan tercela. Demikian pula
sangat keliru bila terlalu meremehkan bagiannya didunia, karena kendaraan itu
tidak kuat berjalan kecuali dengan memenuhi apa yang dibutuhkannya. Maka cara
yang selamat adalah dengan menempuh jalan pertengahan yaitu, mengambil bagian
dunianya sesuai dengan apa yang dia butuhkan berupa perbekalan untuk menemputh
perjalanan. Kerena memberikan bagian jiwa yang disenangi akan membantu untuk menunaikan
haknya.” (Mukhtashor Minhaj al-Qoshidin hlm. 251-252).
Klasifikasi Manusia Dalam Menyikapi Dunia
Dalam masalah dunia, menusia terbagi menjadi dua golongan,
Pertama: Golongan yang mengingkari keberadaan
kampung akhirat sebagai negeri balasan setelah dunia. Mereka telah diisyaratkan
oleh Allah dalam firman-Nya:
”Sesungguhnya orang yang tidak mengharapkan (tidak
pecaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan di dunia serta merasa
tentram dengan kehidupan itu dan orang orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,
mereka itu tempatnya neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.”
(QS. Yunus [10]:7-8).
Keinginan dan tujuan hidup mereka hanyalah bersenang-senang
di dunia. Mereka hendak meraih kebahagiaan dan kesenangan didunia sepuasnya
sebelum mati. Tidak percaya adanya hari pembalasan. Mereka adalah orang-orng
kafir yang Allah telah sebutkan dalam firman-Nya:
“Dan orang – orang yang kafir itu bersenang-senang
(didunia) dan mereka makan seperti makannya binatang binatang. Dan neraka
adalah tempat tinggal mereka” (QS. Muhammad [47]:12).
Kedua: golongan yang menetapkan adanya kampung akhirat sebagai
negeri balasan dan pahala setelah dunia. Mereka adalah yang menyatakan keimanan
kepada Rasul. Golongan ini terbagi menjadi tiga macam;
1.
Orang yang zholim
terhadap dirinya.
Mereka adalah kelompok yang paling banyak. Mereka terlena
dengan manisnya dunia, mengambil bagian dunia dengan banyak dan tidak
menjalankan semestinya. Jadilah dunia itu keinginannya yang paling besar,
senang dan benci didasari dengan urusan dunia. Mereka selalu berfoya-foya dan
memperkaya diri, tidak mengetahui maksut yang hakiki dari kehidupan dunia ini,
walaupun mereka ada yang beriman tapi keimanan mereka hanya bersifat global.
Golongan inilah yang disinyalir oleh Allah dalam firman-Nya :
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan
perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di
dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah
orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, keuali neraka dan lenyaplah di
akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan.” (QS. Hud [11]: 15-16).
Imam Qotadah rahimahullah berkata : “Barangsiapa
yang menjadikan dunianya sebagai tujuan, keinginan dan niatnya, maka Allah akan
membalas kebaikkannya didunia hingga habis dan tidaklah di akhirat memiliki
kebaikan yang bisa dibalas. Adapun seorang mukmin, dia akan dibalas dengan
kebaikkannya di dunia dan diberi pahala di akhirat.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/311
Tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah).
2.
Orang yang
pertengahan.
Mereka mengambil dunia dari sisi yang dibolehkan,
bersenang-senang dengan kenikmatan dunia. Mereka tetap mengerjakan yang wajib
dengan menunaikan hak-haknya.
Ibnu Hibban rahimahullah berkata: “Boleh
mengumpulkan harta dalam perkara yang bukan haram, kemudian menunaikan hak-hak
Allah di dalamnya. Yang wajib bagi orang yang berakal adalah bekerja pada masa
mudanya untuk memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan yang tidak bisa lepas,
atau kebutuhan yang bisa menegakkan agamanya. Maka hendaklah perhatiannya
terhadap harta dalam perkara yang bisa memperbaiki kehidupan, menjaga diri dan
agamanya sebagai persiapan menuju kampung akhirat.” (Roudhoutul Uqola hlm.
224).
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Celaan
terhadap dunia adalah untuk orang-orang jahil dan orang-orang yang hert dunia.
Atau orang yang bermaksiat yang banyak membuat kerusakan. Adapun apabila
seseorang memanfaatkan harta, kemudian menunaikan zakatnya maka tidak tercela.”
(Shoidul Khothir hlm. 63, Tahqiq: Amir Ali Yasin).
3.
Orang yang
berlomba dalam kebaikan.
Mereka adalah orang – orang yang memahami maksud yang
hakiki dari kehidupan dunia ini. Mereka beramal dengan segala tuntutannya,
mereka menyadari bahwa tinggal didunia ini untuk sebuah ujian yang besar.
Diantara mereka ada yang mengambil dunia ini sebatas untuk bisa hidup saja,
sebagian yang lain ada yang memperbanyak urusan dunia yang boleh untuk
menguatkan diri dan penyemangat dalam beramal. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Dan barang siapa yang menghendaki kehidupan akhirat
dan berusaha kearah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka
mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (QS.
Al-Isro [17]:19).
Abdan berkata: “Aku menemui Abdullah bin Mubarok dan dia
sedang menangis. Aku bertanya: “Ada apa denganmu wahai Abu Abdirrohman?” Dia
menjawab: “Barang daganganku hilang semua.” Aku bertanya kembali: “Apakah kamu
menangis karena harta?” Dia menjawab: “Barang-barang itu adalah sumber
penghidupan untuk menegakkan agamaku!” (Toudhotul Uqola hlm. 225).
Hasan al-Bashri berkata: “Aku mendapati sekelompok kaum
yang mereka tidak bergembira ketika mendapat bagian dunia, dan mereka tidak
menyesal dengan apa yang luput dari dunia.” (az-Zuhud hlm. 230, Ahmad
bin Hanbal).
Mengambil Bagian Di Dunia
Alloh menjadikan dunia sebagai negeri untuk beramal dan menjalankan
segala perintah-Nya, dan Allah menjadikan akhirat sebagai negeri balasan dan
tempat yang abadi. Hal itu mengharuskan bagi setiap insan untuk mengambil
bagian dunianya, karena sulit bagi seorang muslim untuk berbekal menuju kampung
akhirat kecuali dia juga harus memenuhi kebutuhan yang asasi, sebagai
penyemangat dan penopang dalam menjalankan ketaatan. Allah berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu
dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. Al-Qoshos [28]:77).
Sebagian salaf mengatakan: “Engkau butuh terhadap dunia,
akan tetapi mengambil bagianmu untuk akhirat adalah lebih dibutuhkan. Apabila
engkau mengawali bagianmu untuk akhirat, maka akan berjalan pula bagianmu dari
dunia dan akan tersusun dengan susunan yang bagus.” (Imam Ahmad dalam az-Zuhd
hlm. 228).
Allah juga berfirman :
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu
urusan), kerjakanlah dengan sunguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Al-Insyiroh [94]: 7-8).
Sebagian ahli tafsir berkata: “Yaitu apabila engakau
telah selesai dari urusan duniamu, maka bersungguh-sungguhlah beribadah kepada
Rabb-mu.” Firman Allah tersebut bukan berarti anjuran untuk cinta terhadap
dunia, tetapi anjuran untuk mengambil bekal dan bagian didunia.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata: “Apabila
dirumahmu sudah ada gandum, maka beribadahlah. Jika tidak ada maka carilah.
Wahai anak Adam, gerakkanlah tanganmu, semoga hal itu akan menjadi sebab
datangnya rizki.”
Sebagian ahli hikmah mengatakan: “bukan termasuk cinta
dunia apabila mencari rizki untuk menjaga kehormatan, dan buka termasuk
semangat terhadap dunia apabila mencari sesuatu yang dapat menopang kebutuhan
pokok bagi badan.” (Adab ad-Dunya wad Dien hlm. 212-213, al-Mawardi,
Tahqiq: Yasin Muhammad Sawwas).
Kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
1.
Umar bin
Khoththob radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku menamui Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau sedang berbaring diatas tikar yang bertenun,
tidak ada kasur diatasnya. Tikar tersebut meninggalkan bekas pada tubuhnya. Beliau
bersandar dengan bantal. Aku melihat sisi rumah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan aku tidak menjumpai sesuatu pun yang menakjubkan
kecuali ada tiga buah kulit hewan yang belum selesai disamak. Aku berkata:
“Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoalah kepada Allah agar
memberi keluasan kepada umatmu, sesungguhnya Persia dan Romawi telah diberi keluasan
dalam masalah dunia padahal mereka tidak beribadah kepada Allah!” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sambil bersandar berkata: “Apakah engkau ragu wahai Ibnul
Khoththob? Mereka adalah sekelompok kaum yang kebaikan mereka telah disegerakan
didunia ini.” (HR. Bukhori: 2336, Muslim: 1479).
2.
Aisyah berkata :
“Sesungguhnya kami melihat hilal pergantian bulan dalam kurun waktu dua bulan,
dan selama itu tidak ada api yang menyala di rumah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (tidak ada sesuatu yang dimasak). Yang ada hanya air dan
korma. Hanya saja kadang-kadang ada tetangga Anshor yang memberi susu, beliau
minum dan memberi minum kepada kami.” (HR. Bukhori: 2428, Muslim: 2972).
3.
Anas bin Malik
berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum pernah makan roti
yang lembut dan daging yang dipanggang hingga beliau meninggal.” (HR. Bukhori:
5070).
Ingatlah selalu Nasihat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah:
“Sesungguhnya kehidupan yang tentram dan diridhoi adalah kehidupan akhirat.
Adapun dunia, bagaimana enak dan lezatnya pasti akan musnah. Apabila didunia
tidak diiringi dengan amalan sholeh maka itu sebuah kerugian.” (Syarah
Riyadhus Sholihin 3/364).
Allahu a’lam.
Sumber : Abu Abdillah
Syahrul Fatwa as-Salim, Majalah Al Furqon, Edisi 12, 1430 H/2009.
1 komentar: