Jangan Mencela Kalau Tidak Bisa
Mencela
adalah sebuah perbuatan negatif yang disepakati mayoritas manusia. Siapa
orangnya yang suka di cela? Tentu anda tidak akan pernah suka jika di cela, di
lecehkan, ataupun diremehkan. Bahkan, jangankan di cela, ketika ada seseorang
berbuat kesalahan saja, ketika orang lain menasehati namun dengan gaya yang
kurang pas saja oarang yang bersalah tersebut mungkin tidak menyukainya, lalu
bagaimanapula kalau masalahnya adalah celaan.
Berkaitan
dengan mencela ini, belakangan kita dapati betapa banyak orang yang ngakunya
Muslim namun suka mencela muslim lainnya. Bahkan terkadang kita dapati celaan
itu tidak hanya tertuju pada individunya, namun celaan yang menyasar kepada
syariat Islam yang di amalkan oleh orang lain.
Kita
lihat saat ini betapa banyak orang yang mencela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam baik celaan itu berkaitan dengan individu yang mengamalkannya maupun
syariat yang ia amalkan.
Masih
hangat di ingatan kita seorang tokoh Islam ternama yang begitu bengisnya ia
mencela Sunnah para Nabi yaitu berjenggot. Bahkan ia labelkan sutau yang
negatif kepada orang yang mengamalkan sunnah Nabi ini. Entah alasannya ia tidak
suka dengan beberapa khlak orang-orang yang berjenggot ataukah memang ia
membenci syariat berjenggot karena nafsunya. Padahal kalau mau berfikir sedikit
saja dan mau menyadari bahwasannya minimal kehormatan seorang muslim itu haram
untuk di jatuhkan. Bahkan seseorang itu cukup dikatakan buruk ketika ia
merendahkan saudaranya sesama muslim.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
حَسْبِ
امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ حَرَامٌ؛ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُه
“Cukuplah seseorang dikatakan buruk , jika ia menghina / merendahkan
saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim atas Muslim yang lainnya, haram
(menumpahkan) darahnya, haram (mengambil) hartanya (tanpa hak), dan
(mengganggu) kehormatannya” (HR. Muslim)
Juga masih segar diingatan kita berapa banyak cerita-cerita
dari para umahat yang mengenakan busana yang syar’i, mengenakan cadar yang
mereka mencapatkan celaan dengan celaan yang sama sekali tidak layak. Entah
sang pencela ini anti terhadap individunya atau anti dengan syariat Islam
karena tidak sesuai hawa nafsunya, atau mungkin ada subhat di kepalanya. Tapi
minimal jika ia seorang muslim dan masih menganggap orang yang berbusana syar’i
ini muslim tentunya ia tahu bahwasannya haram baginya menggar hak dan
kehormatannya muslim lainnya.
Dan masih banyak lagi berbagai macam celaan yang putar
balikan sehingga yang
benar terlihat salah dan yang salah dianggap lumrah. Pola pikir
seperti ini banyak kita dapati di orang-orang sekitar kita. Maka hendaknya mari
kita rubah pola pikir seperti ini dengan selalu berlemah lembut kepada orang
yang mungkin belum menjalankan syariat Islam yang kita sudah dahulu
menjalankannya. Jangan mencelanya karena maksiat, karena siapa orangnya yang
mau dicela. Bukankan amalan seseorang itu ditentukan di akhirnya? Bisa jadi ada
orang yang saat ini berbuat maksiat namun di akhir hidupnya ia bertaubat dan ia
diampuni Allah, dan begitu juga sebaiknya.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِخَوَاتِيْمِهَا
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung daripada akhirnya”
Begitu juga, mungkin anda atau saudara anda adalah termasuk
salah satu orang yang pernah mencela sesama muslim karena ia menjalankan
syariat Islam, atau bahkan mungkin celaan itu karena kebenciaan terhadap
syariat Islam atau karena hawa nafsu. Maka hendaknya perhatikan hak sesama
muslim, jangan sampai karena memperturutkan hawa nafsu kita, kita langgar
kehormatan sesama muslim. Dan bahwasannya haram bagi seorang muslim melanggar
kehormatan muslim yang lainnya, jika celaan ini karena individu muslim, namun
jika celaan ini tertuju kepada syariat Islam, maka ancamannya lebih parah,
lebih besar, dan hendaknya anda takut terhadapnya. Mari simak kisah seorang
yang ikut perang tabuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
karena candaannya yang keterlaluan mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Sahabat sehingga ia tidak di maafkan dari kesalahannya dan berbuntut
keluarnya seseorang dari agama ini. Berikut kisahnya,
Dahulu ada sekelompok manusia bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam
perang Tabuk dan mereka adalah muslimin, kemudian dalam suatu majelis mereka
mengatakan: “Kita tidak pernah melihat seperti para qurro’
(pembaca-pembaca) kita ini yang paling dusta lisannya, paling buncit perutnya
(paling rakus dalam makan), paling penakut ketika bertemu musuh”,
mereka memaksudkan dengan ucapannya itu adalah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dan para sahabatnya. Dan bersama mereka ada seorang pemuda dari
kalangan sahabat, maka dia marah dengan ucapan mereka ini, kemudian dia pergi
dan menyampaikan apa yang diucapkan kaum tersebut kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam dan dia mendapati wahyu telah turun mendahuluinya.
Maka
datanglah kaum tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk
meminta maaf tatkala mereka mengetahui bahwa Rasullah shallallahu alaihi
wasallam telah mengetahui apa yang terjadi pada majelis mereka. Dan berdirilah
salah seorang dari mereka dan bergantungan di tali pelana onta Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan beliau mengendarainya, orang tersebut
mengatakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami hanya berbincang-bincang
untuk menghilangkan keletihan dalam perjalanan, kami tidak memaksudkan untuk
memperolok-olok, kami hanya bersenda gurau” dalam keadaan Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam tidak menoleh sedikitpun kepadanya dan
beliau hanya membacakan atasnya ayat ini:
وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ
إِنَّمَا كُنّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللهِ وَءَايَاتِهِ وَرَسُولِهِ
كُنتُمْ تَسْتَهْزِءُونَ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang
mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya kami hanya
bersenda-gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah dengan
Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya, kamu selalu berolok-olok?". (At
Taubah:65).
لاَتَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
“Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman. (At Taubah:66).
Perhatikan ayat diatas, Ini
menunjukkan bahwasanya sebelum ucapan ini mereka adalah orang-orang yang
beriman, maka tatkala mereka mengucapkannya mereka menjadi murtad dari Islam.
Padahal mereka mengatakan: “Ini hanya senda gurau” karena
perkara-perkara agama ini tidak boleh dibuat senda gurau dan main-main. Sungguh
Allah telah mengkafirkan mereka setelah keimanan mereka. Kita memohon
keselamatan kepada Allah. (Syarah Nawaqidul Islam, Syaikh Sholeh al Fauzan).
Oleh
karena itu, bagi saudara dan saudariku sesama muslim, jika sendainya anda
melihat ada muslim lainnya yang mengamalkan sunnah maka jagalah lisanmu dari
mencela saudaramu itu. Jika yang kamu cela adalah individunya maka minimalnya
kamu telah berbuat perbuatan yang dilarang yaitu melanggar kehormatan seorang
muslim, namun jika yang kamu tujukan dari celaanmu itu adalah syariatnya,
Sunnahnya, Ajaran Islamnya, maka berhati-hatilah terhadap ancamannya seperti
kisah yang kami nukilkan diatas.
Dalam
kisah diatas, orang yang mencela dalam keadaan celaan itu adalah bentuk candaan
adalah orang yang ikut perang di perang Tabuk bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tentu kita ketahui betapa besar amalannya, betapa besar
keutamaan pahala orang yang berjihad di jalan Allah ditambah jihadnya bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi sallam pula. Dan bersamaan dengan hal
tersebut, ternyata karena sebab celaan dalam candaannya, mereka di tidak di maafkan
di dihukumi keluar dari Agama, dalam keadaan amalan yang besar ikut perang
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Lalu
kita bagaimana? Apakah sudah sebesar itu amalan kita? Apakah kita ikut perang
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah kita sudah
berjasa terhadap dakwah agama ini? Sehingga dengan tanpa merasa bersalah engkau
cela syariat Islam, engkau jadikan bahan lelucon agama ini, hanya untuk
memenuhi nafsumu. Maka betapa rugi, betapa tidak tahu dirinya kita. Jasa tidak
ada, amalan sedikit, pede ingin mencelana Sunnah, atau minimalnya mencela
individu yang mengamalkan sunnah. Maka jika seandainya anda belum mampu untuk
beramal dengan salah satu amalan sholih di dalam syariat Islam ini, jangan anda
cela syariatnya, jangan anda celana orang yang mengamalkannya, cukup anda
ucapkan saya belum mampu. Mudah-mudahan Allah berikan taufiq dan hidayahnya
kepada kita semua. Wallahu’alam.
NB : Mohon koreksinya jika ada kesalahan pemahaman dan penulisan. Silahkan sampaikan komentar anda di kolom komentar di bawah.
NB : Mohon koreksinya jika ada kesalahan pemahaman dan penulisan. Silahkan sampaikan komentar anda di kolom komentar di bawah.
0 komentar: