Jangan Merasa Paling Selamat

Jangan Merasa Paling Selamat

Nasehat dan saling mansehati adalah sebuah perkara baik. Karena memang dasar nya seorang manusia itu selalu memiliki kesalahan. Terkadang seseorang telah berusaha berbuat baik, namun terjatuh lagi dalam beberapa keburukan dan berbagai macam maksiat. 

Namun bukan berarti ketika seorang manusia itu berbuat salah lantas merasa tenang dan diam. Tapi harus ada upaya dari diri untuk terus berusaha menjadi baik dan bertaubat dari berbagai kesalahan yang pernah di lakukan. 

Sebagaimana yang pernah di sabdakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, 

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

“Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat”. (Hadits Shahih Riwayat at Tirmidzi)

Terkadang ketika berbuat salah, kita lupa, lalai untuk kembali ketaatan. Maka perlu ada andil dari orang lain yang dapat mengingatkan kita agar berhanti dari kesalahan itu dan kembali kepada ketaatan kepada ALlah. Maka dari itulah nasehat ini menjadi penting bagi seorang muslim.

Namun terkadang kita temui, seseorang yang memiliki tujuan baik, ingin manasehati saudaranya yang sedang bermaksiat itu tidak sabar. Ia menginginkan nasehatnya langsung di pakai, langsung di kerjakan oleh orang yang di nasehati. 

Sehingga ketia ia telah berusaha menasehati, satu atau dua kali dan ternyata nasehat itu tidak juga di perhatikan oleh orang tersebut, maka terkadang keluarlah ucapan-ucapan buruk kepada orang yang bermaksiat ini. 

Entah sebutan hubbud dunya, futur atau bahkan celaan yang seolah-olah Allah tidak akan memberikan kebaikan orang yang bermaksiat ini akhirnyapun keluar dari lisannya. 

dan ini adalah sebuah perbuatan yang dapat membahayakan diri nya. Mungkin maksutnya memang baik, namun karena mungkin ada bisikan syaitan untuk membesarkan dirinya, meninggikan dirinya terasa lebih baik, lebih taqwa, lebih taat akhirnya keluarlah perendahan bahkan pelecehan terhadap orang yang sedang terjerumus dalam maksiat. 

sebagai sebuah renungan, ada baiknya kita menyimak sebuah kisah seorang yang ahli taat dengan seorang yang ahli maksiat berikut. 

Kisah Seorang Ahli Ibadah dan Ahli Maksiat

Kisah ini di riwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 

"Pada zaman bani israil dahulu, hidup dua orang laki-laki yang berbeda karakternya. Salah seorang suka berbuat dosa dan yang lainnya rajin beribadah. Setiap kali orang yang ahli ibadah ini melihat temannya berbuat dosa, ia menyarankan untuk berhenti dari perbuatan dosanya. 

Suatu kali orang yang ahli ibadah mendapatkannya tengah berbuat dosa, maka dia berkata, 'berhentilah dari berbuat dosa.' Dia menjawah, 'Jangan pedulikan aku, terserah Allah akan meperlakukan aku bagaimana. Memangnya engkau diutus Allah untuk mengawasi aku?' Laki-laki ahli ibadah itu menimpali, 'demi Allah, Dosamu tidak akan diampuni oleh Nya atau Dia tidak akan memasukkan kamu ke dalam Surga.' 

Kemudian Allah mencabut nyawa kedua orang itu, kemudian mereka menghadap Allah Rabbul 'alamin. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman kepada laki-laki Ahli ibadah, 'Apakah kamu lebih mengetahui daripada Aku? Ataukah kamu dapat merubah apa yang telah berada dalam kekuasaan tanganku.' Kemudian kepada ahli maksiat Allah berfirman, 'Masuklah kamu ke dalam surga berkat rahmat Ku.' Sementara untuk ahli ibadah Dia berfirman (kepada para malaikat), 'Masukkan orang ini ke neraka.'" 

(Hadits Shahih di Riwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnul Mubarak dalam kitab az-Suhd, Ibnu Abi Dunya dalam Husn as-Shan, al-Baghawi dalam syarh as-Sunnah, Disalin dari 61 Kisah Pengantar Tidur Diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah dan para Sahabat, Muhammad bin Hamid Abdul Wahab). 

Diantara pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut yaitu bahwasannya kita di larang membuat orang lain yang berbuat salah berputus asa dari Ampunan Allah yang maha pengampun. 

Dari kisah ini kita juga bisa mengambil pelajaran bahwasannya seseorang yang mengklaim dirinya sendiri sebagai hakim kebenaran adalah sebuah sikap yang tercela. 

Juga bahwasannya dari kisah ini kita dapatkan betapa berat akibat yang di berikan kepada seseorang yang mengucapkan sesuatu atas nama Allah tanpa di dasari ilmu. Yaitu ketika ia memastikan orang lain masuk surga atau masuk neraka. Dengan perkataan ini berarti ia telah mengakui memiliki sifat ketuhanan. 

Maka betapa besar akibat dari berkata tentang Allah tanpa di landasi Ilmu. Berkenaan tentang hal ini, Allah ta'ala berfirman, 

Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ إنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui“.” (QS. Al A’rof: 33)" 
Dan berkata tentang Allah dengan tanpa ilmu ini merupakan perbuatan yang sangat besar dosanya. Bahkan lebih besar dari dosa berbuat syirik. Karena perbuatan ini dapat menyebabkan pelakunya terjerumus dalam berbagai macam maksiat besar seperti syirik dan selainnya. 
Maka jika kita telah merasa mendapat hidayah kebaikan. Mari kita jaga hidayah itu dengan terus berusahan beramal taat bukan merasa taat dan merasa baik. Sehingga orang lain terlihat buruk dalam pandangan kita. Yang ini dapat menjadi celan keburukan bagi kita. Nasalullaha salamah. 

0 komentar: