Tingkatan Manusia Muslim Dalam Menghadapi Musibah


Tingkatan Manusia Muslim Dalam Menghadapi Musibah 
Manusia dalam menyikapi musibah dapat dikualifikasikan menjadi empat macam. Pertama, orang yang bersyukur. Kedua, orang yang ridho. Ketiga, orang yang sabar. Keempat, orang yang berkeluh kesah (jazi’).

Orang yang jazi’, artinya ia telah melanggar tindak yang diharamkan, murka terhadap ketentuan (qadha’) Rabbul ‘alamin yang ditangannya pengaturan langit dan bumi. Dialah pemilik kerajaan, sehingga berwenang melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.

Orang yang bersabar dalam menghadapi musibah, yakni orang orang yang dapat menanggung musibah yang melanda. Maksutnya, ia mengetahui hal itu pahit, berat dan susah. Dia tidak suka musibah itu datang, namun ia mampu teguh dalam menanggungnya dan menjaga dirinya dari berbuat yang diharamkan. Ini wajib.

Orang yang ridha. Yaitu sosok yang tidak peduli terhadap musibah. Memandang semua itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga ia menjadi manusia yang menerima dengan ridha kepada Allah secara total. Di qolbunya, tidak ada sedikitpun kesedihan ataupun penyesalan. Karena ia memang benar-benar ridha kepada Allah. Tingkatannya lebih tinggi daripada golongan yang bersabar. Atas dasar itu, maka sikap ridha kepada Allah dalam menghadapi musibah hukumnya mustahab, bukan wajib.

Adapun orang yang bersyukur, maknanya orang ini bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas musibah yang menimpanya. Lantas, bagaimana ia bisa bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala, padahal ia sedang menghadapi mussibah?

Ada dua aspek yang menjadi alasan rasa syukurnya.
Pertama, ia memperhatikan orang yang tertimpa musibah yang lebih berat darinya. Ia bersyukur kepada Allah, lantaran tidak ditimpa musibah seberat itu. Dalam konteks ini, terdapat sebuah hadits,
Janganlah kalian melihat orang yang berada diatas kalian, tetapi lihatlah orang-orang yang berada dibawah kalian. Itu lebih patut, agar kalian tidak melecehkan nikmat Allah kepada kalian. (HR. Muslim, kitab az Zuhdu (2963), dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu).

Kedua, ia mengetahui bahwa musibah itu akan menggugurkan dan menghapus dosa-dosanya. Ia juga mengetahui, bahwa musibah itu akan dapat meningkatkan derajatnya disisi Allah bila ia bersabar. Janji di akhirat lebih baik dari (pesona dunia), maka ia pun bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Dia juga memahami, orang yang paling dahsyat cobaannya adalah para Nabi, kemudian orang-orang yang shalih dan orang-orang yang serupa dengan mereka, dan seterusnya. Sehingga ia pun berharap menjadi orang shalih dengan cobaan itu, dan akhirnya ia memanjatkan rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas anugerah itu.

Syukur (dalam musibah), hukumnya mustahab, dan tingkatannya di atas ridha. Sebab, syukur saat tertimpa musibah mengandung makna lebih dari sekedar ridha (dan makna positif lain). (mas)

(Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy Syarhu al Mumti’, 5/495-496).

Sumber : Majalah As Sunnah, Edisi 03/X/1427 H. 

0 komentar: